8 Komentar

Kesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #5

Oleh:  Odi Shalahuddin

Semarang Kota Ciblek

Semarang kota ciblek. Itu pernah menjadi julukan bagi kota Semarang di awal tahun 2000-an. Ini terkait dengan banyaknya anak-anak dan remaja yang berada di prostitusi yang mudah untuk dijumpai di ruang-ruang publik. Khususnya, pada saat itu terkenal dengan teh poci sebagai tempat mangkal mereka.

Kawasan Simpang Lima yang memang sudah ramai sebagai tempat kongkow di Semarang, pada saat itu semakin ramai saja dengan tumbuhnya pedagang teh poci. Para pedagang yang biasanya hanya ada di bagian timur dan selatan, kini telah menyebar ke seluruh arah. Pedagang teh poci mendominasi bagian Barat dan Utara, termasuk juga di sepanjang jalan Pandanaran. Mereka menempati trotoar-trotoar jalan. Penerangan yang tidak memadai, terhiasi dengan lampu-lampu sentir. Nah, di tempat teh poci inilah, para perempuan muda dengan dandanan yang seksi selalu menyapa para pengendara yang biasanya berjalan melambat.

Istilah ”ciblek” berasal dari nama sebuah burung kecil yang senang berkicau. Namun di sini dikembangkan menjadi sebuah singkatan dengan kepanjangan ”Chilik-chilik betah melek” (kecil-kecil suka melek) dan ”Chilik-chilik isa digemblek” (Keci-kecil bisa dipakai). Istilah ini ditujukan kepada seseorang yang berada di prostitusi yang umurnya masih muda atau masih dalam batasan umur anak. Sedangkan untuk perempuan dewasa digunakan istilah lain, yaitu ”Prenjak” yang juga nama sebuah burung yang dijadikan singkatan ”Perempuan Nunggu diajak”. Kedua jenis burung tersebut memang tengah populer di Semarang sejak pertengahan tahun 90-an.

Memang ”ciblek” kemudian menjadi lebih populer dan seringkali dikaitkan dengan prostitusi secara umum. Istilah-istilah lain yang sebelumnya sempat populer seperti ”Warrior” dan ”Aiwa” secara perlahan menghilang. Bahkan istilah ”ciblek” kemudian menyebar ke berbagai kota di Jawa Tengah seperti Klaten dan Magelang.

Hiruk-pikuk dan lahirnya fenomena baru di kehidupan malam di kawasan ini menarik perhatian media. Berbagai pemberitaan mengenai ”Ciblek” terus mengalir baik melalui media  cetak maupun media elektronik di tingkat lokal ataupun nasional. Sepertinya dapat dikatakan tidak ada satu media yang tidak pernah mengangkat pemberitaan ataupun reportase mengenai ”Ciblek”. Bahkan sebuah sinetron diproduksi yang mengisahkan tentang kehidupan ”Ciblek” yaitu Sinetron ”P” yang dimainkan oleh Nafah Urbah dan Ray Sahetapi yang ditayangkan sebuah stasiun televisi swasta pada tahun 2004.  Gebyar pemberitaan dan sorotan terhadap situasi tersebut, suka atau tidak suka, melahirkan julukan ”Semarang sebagai kota Ciblek”.

Saya kira persoalan ”ciblek” tidak lahir begitu saja. Sejauh pengamatan saya yang kebetulan pada masa itu banyak berinteraksi dengan anak-anak jalanan, termasuk juga anak-anak yang dilacurkan, hal ini dipicu oleh beberapa hal. Pertama adalah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 yang semakin parah dan masih berdampak hingga awal tahun 2000-an. Kedua, adalah penutupan dua lokalisasi yang berada di Semarang, yaitu Sunan Kuning (sering dikenal dengan sebutan SK) dan Gambilangu (dikenal dengan sebutan GBL).

Penutupan lokalisasi menyebabkan para PSK beralih tempat mangkal di jalan-jalan utama. Beberapa ruas jalan yang sebelumnya memang juga diketahui sebagai tempat mangkal para PSK, seperti di jalan Ahmad Yani (sebelah timur kawasan Simpang Lima) yang semula hanya ada di depan RRI, meluas sejak di Simpang Lima hingga dekat perempatan Bangkong. Pada pukul lima sore, mereka sudah terlihat duduk di ”buk” (tembok pendek di sisi trotoar) dengan pakaian yang seronok. Juga di sepanjang jalan Pemuda yang tampak ramai terutama dari bunderan PLN hingga depan hotel Dibya Puri (pasar Johar), di sepanjang jalan Tanjung, Di penggalan Jalan Imam Bonjol terutama dari depan Stasiun Poncol hingga jembatan Berok. Dekat kawasan Simpang Lima, yaitu di Jalan Pandaran juga menjadi tempat mangkal baru dengan basis di tempat-tempat teh poci.

Ketika dua lokalisasi kembali hidup secara ilegal sebagai tempat praktek prostitusi, dan konon jumlahnya justru melebihi ketika masih legal, prostitusi jalanan tetap saja semakin marak. Pada masa itu, tarif para ”ciblek” di kawasan Simpang Lima” bisa berlipat-lipat dibandingkan tarif di lokalisasi. Bahkan menyamai  atau setidaknya mendekati orang-orang yang berpraktek secara tersembunyi.

Saya kira warga Semarang dan aparat pemerintahnya tentu tidak berkenan atau merasa risih dengan julukan tersebut. Pembahasan untuk mengatasinya sangat ramai dilakukan melalui diskusi, seminar, komentar di media, dan sebagainya.  Para anggota Dewan seringkali mendesak pihak kepolisian untuk melakukan rasia-rasia terhadap prostitusi. Hal mana memang pada akhirnya banyak dilakukan oleh pihak kepolisian. Ini menjadi hal yang aneh mengingat di semua wilayah, biasanya yang melakukan rasia adalah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Polisi, hanya memberikan dukungannya bila diminta  oleh Satpol PP. Tindakan ini sempat menimbulkan protes di sebuah surat pembaca yang menyatakan bahwa hal tersebut adalah tindakan tidak sesuai dengan hukum. Saya sendiri bersama kawan-kawan sempat melontarkan kritikan tersebut kepada Kepala Kepolisian Kota Besar Semarang, yang bila tidak salah ingat dijabat oleh Mathius Salempang dan juga ketika bersama-sama menjadi pembicara dalam sebuah seminar mengenai prostitusi yang dilangsungkan di DPRD Jawa Tengah.

Pada masa-masa itu, maraknya prostitusi di jalanan sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak-anak jalanan perempuan. Sebagai kelompok yang rentan untuk dijerumuskan, satu persatu anak jalanan perempuan akhirnya berada di prostitusi, dan kemudian menjadi korban perdagangan anak untuk tujuan prostitusi ketika beberapa jaringan kejahatan mulai beraksi mengirim para ”ciblek” ke berbagai wilayah lain di Indonesia.

Yogyakarta, 21 Maret 2011

_____________________________

Tulisan-tulisan terkait:

8 comments on “Kesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #5

  1. […] EKSPLOITASI SEKSUALKesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #7Kesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #6Kesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #5Kesekian Kali tentang Prostitusi Anak #4Kesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #3 PERDAGANGAN […]

  2. […] EKSPLOITASI SEKSUALKesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #7Kesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #6Kesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #5Kesekian Kali tentang Prostitusi Anak #4Kesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #3 PERDAGANGAN […]

  3. […] Tentang Odi Shalahuddin Bekerja pada isu (hak-hak) anak yang telah digeluti sejak tahun 1990. Sejak tahun 1994 hingga sekarang aktif di Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN). Banyak menulis tentang masalah anak-anak, fiksi (cerpen dan puisi) dan masalah sosial-budaya. Berharap tulisannya dapat memberi arti, setidaknya untuk diri sendiri, walau berharap orang lain bisa juga menikmati. Lihat semua tulisan oleh Odi Shalahuddin » « (puisi 2003) Nyanyian Menjelang Fajar Kesekian Kali Tentang Prostitusi Anak #5 » […]

  4. Istilah-istilahnya sudah sangat ‘menjual,’ dan alasan ‘kehidupan’ itu ada tetap faktor ekonomi, ckckck…miris (lagi).

  5. […] Kesekian kali tentang Prostitusi Anak (5) […]

Tinggalkan Balasan ke Seks Bebas | Odi Shalahuddin Batalkan balasan