2 Komentar

Urusan Lima Menit, Suara Anak dibungkam (Catatan untuk hari Anak Nasional)

Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia merayakan Hari Anak Nasional. Hal ini digagas oleh mantan Presiden RI, Soeharto, melalui Keputusan Presiden RI No 44 tahun 1984.

Tapi, begitulah, sebagaimana dengan peringatan hari-hari nasional lainnya, setiap tahun pemerintah selalu menyelenggarakan Peringatan Hari Anak Nasional di tingkat nasional, propinsi, kota/kabupaten, yang dihadiri oleh Kepala Negara/Gubernur/Bupati/Walikota. Organisasi-organisasi yang bekerja untuk anak dan organisasi-organisasi anak sendiri secara bersama juga melakukan serangkaian acara untuk memperingatinya. Walau kandungan isi seringkali bertolak belakang.

Sejak tahun 2000, Kongres Anak Nasional, yang diikuti oleh perwakilan anak-anak dari berbagai wilayah di Indonesia mulai digelar. Biasanya berlangsung menjelang hingga sesudah hari Anak. Pada acara tersebut, yang umum dihasilkan adalah rumusan diskusi berupa butir-butir pernyataan anak Indonesia, yang dibacakan pada Puncak Peringatan Hari Anak Nasional di depan presiden.

Kongres Anak Indonesia ke IX yang dilangsungkan pada tanggal 19-24 Juli 2010 di hotel Serrata, Pangkal Pinang, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung dan dibuka oleh Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, telah menghasilkan butir-butir pernyataan yang diberi nama “Suara Anak Indonesia”. Dua anak telah ditunjuk untuk membacakan pernyataan tersebut di hadapan SBY. Dan konon, setelah mengikuti gladi resik, menjelang pembukaan acara, pada pukul 08.00 pembacaan pernyataan anak tiba-tiba dibatalkan. Puspasari, pendamping anak, menyatakan bahwa alasan pembatalan dari panitia penyelenggara karena perintah dari istana (lihat Kompas.com, tanggal 23 Juli 2010)

Para aktivis hak anak, menyebut ini sebagai Hari Tragedi Anak Nasional. Hampir senada, Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, menyebutnya sebagai “Hari Duka Anak Nasional”.

Alasan jadwal yang padat, yang dikemukakan kemudian, sesungguhnya bukanlah alasan. Acara untuk anak, untuk memberikan penghargaan dan meningkatkan kepedulian terhadap nasib anak-anak, maka “Suara Anak Indonesia” yang dihasilkan dari perwakilan 33 propinsi ini menjadi sangat penting untuki didengarkan, tidak saja oleh para penguasa, tapi juga oleh masyarakat umum termasuk anak-anak Indonesia. Membatalkan begitu saja, maka puncak peringatan Hari Anak Nasional telah kehilangan esensinya. Lebih dari itu menunjukkan para penguasa belum peduli dengan (suara-suara) anak. Masih seremonial belaka. Manis di mulut, lain di hati, lain di tindakan.

Belum usai kekecewaan anak-anak atas pembatalan pembacaan pernyataan mereka, satu insiden terjadi ketika salah seorang anak “ditoyor” oleh seorang yang diduga anggota Pasukan Pengamanan Presiden. Seluruh media secara sontak mengangkat berita kedua ini, termasuk di media televisi. Pengingkaran terhadap oknum pelaku yang dinilai bukan Paspampres, namun tidak ada pernyataan bahwa pelaku telah diketahui. Bukankah lebih mudah untuk melacak dan menemukan pelaku di tengah jumlah orang yang terbatas yang mampu mengakses berada di seputar presiden?

Dua peristiwa tersebut, menyibak kembali peristiwa yang mungkin luput dari perhatian publik, yaitu proses seleksi anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), suatu institusi yang dibentuk berdasarkan mandat dari Undang-undang Perlindungan Anak melalui keputusan Presiden No. 77/2003. 18 orang yang terpilih oleh tim seleksi tidak menunjukkan adanya orang-orang yang dinilai kompeten dan dikenal aktif bekerja dan memperjuangkan penegakan hak-hak anak di negeri ini. Semuanya terlempar.

Prof. Dr. Irwanto, seorang akademisi yang selama ini dikenal memiliki perhatian tinggi terhadap persoalan anak-anak di Indonesia, menuliskan kekecewaannya dalam artikel di Kompas (23 Juli 2010). Proses seleksi dinilainya tidak mematuhi prinsip-prinsip pemilihan yang transparan dan demokratis. Ia meragukan KPAI periode ketiga ini dapat membawa perbaikan di tengah sorotan anggota KPAI periode pertama dan Kedua yang dinilai tidak sukses, nyaris tidak dikenal dan prestasi kerjanya juga sulit untuk dicari.

Proses seleksi yang tidak transparan juga direspon oleh anak-anak jalanan di Jakarta yang melakukan aksi damai ke kantor KPAI. “Tuntutan kami adalah bagaimana agar KPAI lebih concern dalam menyelesaikan persoalan-persoalan anak karena kepengurusan yang lama hanya menghabiskan uang negara,” ujar Nawawi sebagai Koordinator Aksi (Detiknews.com, 20 Juli 2010).

Dari rangkaian peristiwa di atas, maka semakin lengkaplah dan tidaklah salah memang bila dikatakan sebagai “Hari Tragedi Anak Nasional”. Ini sendiri kita baru berbicara tentang peristiwa yang bersifat seremonial. Belum kita berbicara tentang sejauh mana negara telah menjalankan kewajiban-kewajibannya untuk menghargai, melindungi, memenuhi dan mempromosikan hak-hak anak sebagaimana terkandung di dalam Konvensi Hak Anak. Bukankah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 36/1990 yang berarti Indonesia telah mengikatkan diri secara politis dan yuridis untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya.

Lebih dari itu, jutaan anak-anak di Indonesia masih mengalami situasi yang buruk. Pekerja anak, anak korban perdagangan, anak korban kekerasan seksual (komersial), anak jalanan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan obat-obatan, dan berbagai kelompok anak lainnya yang benar-benar membutuhkan perlindungan khusus.

Ketika anak-anak mulai belajar untuk bersuara, sebagaimana menjadi hak mereka untuk didengar suaranya berdasarkan KHA pasal 12, maka pembungkaman adalah tindakan keji yang dilakukan terhadap anak-anak. Anak, karena posisinya sebagai anak, maka ia memang tidak memiliki hak berpolitik. Tidak bisa memilih dan tidak bisa dipilih. Jelas, anak tidak memiliki wakil. Maka hanya suara mereka yang bisa mereka andalkan untuk turut terlibat bersama para orang dewasa dan para pengambil kebijakan untuk membawa ke arah perubahan yang lebih baik bagi kehidupan anak-anak.

Bagaimana sekarang? Sudah jelas, tidak bisa menunggu niat baik, tapi memang harus diperjuangkan… Merdekalah anak-anak Indonesia, tetaplah bersuara, tetaplah gemakan hingga hati-hati yang beku dapat mencair.

Jogjakarta, 25 Juli 2010

(Diposting di Kompasiana tanggal 25 Juli 2010)

________________________________


2 comments on “Urusan Lima Menit, Suara Anak dibungkam (Catatan untuk hari Anak Nasional)

  1. […] Sontak, peristiwa ini menimbulkan reaksi keras dari para aktivis anak yang disebut sebagai “Hari Duka Nasional Anak Indonesia’. Kedukaan ini bertambah lagi dengan insiden penoyoran terhadap seorang anak yang dilakukan oleh orang yang diduga sebagai Paspamres. Peristiwa ini menjadi perhatian dari media nasional. (tentang ini saya menulis di SINI) […]

  2. […] Perintah dari istana, demikian informasi yang disampaikan. Kemudian diinformasikan pula bahwa hal ini terkait dengan waktu yang terbatas. Belum hilang kejengkelan atau kemarahan anak-anak dan para aktivis anak, disusul berita adanya penoyoran terhadap anak yang menjadi salah seorang peserta dengan pelaku yang diduga sebagai anggota Paspampres (lihat di SINI dan di SINI). […]

Tinggalkan komentar