Tinggalkan komentar

Anak Bram, Anak para PSK

Oleh:  Odi Shalahuddin

Menjadi teringat dalam suatu perjalanan beberapa bulan lalu. Terus mengusik dalam kepala. Sebenarnya enggan menuliskannya. Tapi tetap saja ada sesak dirasa. Satu hal yang biasa mungkin. Tapi bagi saya menjadi sangat luar biasa. Menurutmu, entahlah. Sebab dirimu yang lebih tahu. Aku tidak akan lancang memasuki suatu wilayah yang bukan kewenanganku. Bukankah pikiran orang lain kita tidak tahu sebelum dia mengungkapkannya? Mengira-ira pandangan orang lain, bukankah itu salah satu bentuk intervensi yang akan mengakibatkan lahirnya prasangka?

Tak berpanjang soal, intinya adalah aku memasuki sebuah lokalisasi di sebuah kota di Sumatra. Lokalisasi yang masih memiliki denyut hidup yang meriah dalam berbagai ruangnya. Lokalisasi ini dulunya resmi, dalam artian ada Perda yang mengaturnya. Kemudian sejak masa reformasi, ketika tuntutan penutupan lokalisasi gencar dilakukan dalam aksi-aksi massa. Lokalisasi-pun ditutup keberadaannya.

Toh, hingga sejauh ini persoalan prostitusi memang tidak ada pengaturannya dalam peraturan perundangan nasional. Tidak ada satu pasal-pun yang melarang ataupun memberikan ancaman terhadap seseorang yang melakukan praktek prostitusi. Kecuali orang-orang yang mengambil manfaat atau keuntungan dari adanya prostitusi. Jadi, pengaturannya memang lebih banyak di peraturan daerah, yang satu sama lain isinya hampir senada. Ini dimulai, bila tidak salah, dengan pembukaan lokalisasi di Silir tahun di awal tahun 60-an. Kemudian disusul oleh berbagai kota/kabupaten lainnya.

Nah, di lokalisasi yang sudah di tutup ini, awalnya terpampang pengumuman yang mengutip ketentuan Perda tentang penutupan. Tapi entah sekarang, papan pengumuman itu sudah tidak ada lagi di tempatnya. Ini seiring dengan berlangsungnya kembali praktek prostitusi di lokalisasi tersebut.

Memang lokalisasi tersebut bukanlah satu-satunya yang secara resmi ditutup namun tetap masih berlangsung praktek prostitusi. Di berbagai kota/kebupaten hal serupa bisa juga dijumpai. Di Saritem Bandung atau di Sunan Kuning Semarang misalnya.

Selepas Maghrib, diantar tiga orang kawan, kami memasuki lorong-lorong dan gang-gang di lokalisasi tersebut. Beberapa PSK sudah mulai duduk di kursi teras Rumah masing-masing. Melalui jendela yang tak tertutup penuh, terlihat pula para PSK yang tengah bersiap diri merias wajahnya.

Di beberapa rumah sudah mulai terdengar alunan musik yang saling bersahutan. Musik dangdut, pop song, dan beraneka. Pusing bila mendengar dari luar karena beraneka lagu masuk ke telinga kita bersamaan.

Setelah berkeliling hampir ke seluruh gang, kami berhenti di sebuah perempatan di tengah lokalisasi tersebut. Di sana ada penjual nasi. Kami duduk memesan nasi goreng. Mataku mengembara ke berbagai sudut. Sudah semakin banyak Perempuan yang mangkal. Mengundang orang-orang yang lewat dengan bahasa yang menggoda. Namun mataku tertancap pada satu kerumunan, tepat di sebrang jalan di mana kami duduk. Sekitar lima perempuan, masih anak-anak bila dilihat dari wajahnya, bersenda gurai di depan kios penjual pulsa. Mereka seakan tak peduli dengan situasi sekelilingnya. Atau karena sudah terbiasa.

“Kok di dalam ada anak-anak juga,”

“Ya, di sini begitu. Tapi mereka tidak praktek di sini, loh,”

“Loh, jadi?”

Pikiranku melayang-layang. Beberapa anak perempuan lewat. Menyapa salah seorang kawanku yang telah mereka kenal.

Selepas makan, kami keluar menuju ke perkampungan yang berdampingan dengan lokalisasi tersebut. Ke rumah seorang kawan yang menjadi Ketua RT, juga menjadi Pekerja Sosial Kecamatan sekaligus terlibat membantu sebuah LSM yang bekerja untuk isu anak-anak yang dilacurkan.

“Baru sekali ini saya tahu, di dalam kompleks lokalisasi ada anak-anak,”

“Tapi mereka tidak praktek di situ,”

”Jadi anak-anak itu?”

”Ya, mereka juga,”.

Ah, aku tercenung. Informasi-informasi ataupun pengamatan dari beberapa lokalisasi, di manapun, setahuku tidak ada anak-anak. Baik laki-laki atau perempuan, kecuali balita. DI Yogya atau di Semarang, misalnya, ketika anak-anak sudah memasuki sekolah dasar, orangtua mereka yang berperan sebagai germo akan mengeluarkan anak-anak mereka dari lingkungan tersebut. Dititpkan ke nenek atau sanak-saudara yang lain.

Tapi di sini. Anak-anak yang telah beranjak remaja, seperti yang kulihat tadi yang kuperkirakan berumur sekitar 13-16 tahun, ada di tengah-tengah kehidupan lokalisasi yang tentunya penuh aneka peristiwa yang dapat mempengaruhi mereka. Setidaknya nilai-nilai yang hadir akan berbeda dengan nilai-nilai masyarakat pada umumnya. Namun, keterangan dari tuan rumah, mereka juga telah dijerumuskan ke prostitusi. Ah, kejamnya dunia! Siapa mampu menghentikannya?

”Mereka biasanya dikontak melalui HP. Ada perantara, atau orang yang sudah kenal dengan mereka. Setelah itu, anak-anak itu yang akan keluar menemui tamunya. Kalau praktek di sini, bisa kena kasus germonya. Ada beberapa kasus germo ditangkap dan diadili karena menyediakan anak-anak.”

”Bagamana mereka bisa ada di dalam lokalisasi?”

“Ah, itu biasanya disebut Anak Bram.”

“Anak Bram?”

“Anak Berame-rame. Mereka adalah anak-anak dari para PSK yang hamil dan melahirkan di sini. Biasanya, para PSK itu akan menitip kepada warga kampung. Seperti saya, ada dua anak laki-laki yang saya rawat. Mereka akan memberi uang kepada pengasuh anak-anaknya. Tapi seringkali berjalan dua-tiga bulan ibunya sudah menghilang,”

“Ada banyak, Pak?”

“Banyak sekali. Kalau dihitung sudah ratusan. Tapi kalau bayinya perempuan, biasanya diambil dan dirawat oleh germonya. Nanti umur 12-14 sudah ditawar-tawarkan.”

“Mengerikan, Pak.”

“Begitulah. Saya juga sangat prihatin. Dulu saya pernah membuat kegiatan bersama anak-anak di sini. Tapi gak ada dana memadai, jadi jalannya tersendat.”

Berpamitan dengan tuan rumah, pikiranku masih melayang-layang. Kehidupan ini terlalu banyak hal tak terduga. Hadir di tengah-tengah kita. Seandainya kita jadi Anak Bram, bagaimana? Apalagi bila kita perempuan! Sudah bisa dipastikan arah jalan hidup yang harus terpaksa di tempuh.

20.01.11

Sumber Foto dari SINI

Foto ini diambil dari tulisan Lu Deh Suriyani di http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2009/08/07/mencegah-penularan-hiv-di-lokalisasi.html

Tinggalkan komentar