5 Komentar

Merindu “Pulang”

Lebih dari sepuluh tahun lalu, seorang guru sekaligus sahabat saya, dalam perbincangan informal di suatu malam, melontarkan pandangannya: “Kamu itu sudah berkeluarga, tapi saya lihat dirimu belum benar-benar merasa sudah berkeluarga padahal sudah punya anak dua,”

Pandangan atau lebih tepatnya kritik tajam yang halus, yang pada masa itu hanya saya tanggapi dengan tertawa. Namun, perkembangannya, komentar tersebut menggelayut di kepala hingga bertahun-tahun, bahkan hingga kini.

Memang harus diakui, kritik tersebut, yang juga pernah muncul dari istriku, ada benarnya. Selama bertahun-tahun, sejak pernikahan, gaya hidup saya seolah tak berubah. Waktu banyak tercurah di luar rumah, dan persinggungan dengan istri dan kemudian dengan anak-anak sangat-sangat minimal.

Maka bekerja keras-lah sang istri, yang “terpaksa” harus mengurus hal-hal yang seharusnya aku lakukan. Ketrampilan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, termasuk genteng bocor, dan hubungan sosial di lingkungan tempat tinggal , malah dimiliki oleh sang istri dibandingkan diriku. Benar-benar keterlaluan ya…

”Aku bisa memaklumi,” kata istriku pada suatu ketika, ”ini lantaran kamu terbiasa hidup sendiri sejak kecil, jadi keterikatan dengan keluarga juga sedikit,”

Ya, sejak SMP aku tidak tinggal dengan keluarga. Aku tinggal bersama kawan-kawan. Demikian seterusnya, sehingga keterikatan dengan kawan bisa jauh lebih kuat. Kadang dalam beberapa hal kepentingan dengan teman seringkali mengalahkan kepentingan keluarga.

Tampaknya sikap semacam itu, ditambah lagi dengan pikiran yang belum terbebani tentang rumah, dan hanya mensikapi kehidupan secara sederhana, bahwa pasti banyak jalan, kami sekeluarga bisa hidup, tidak mati kelaparan. Jadi, benar-benar mengabaikan tentang kepentingan keluarga. Belum lagi beberapa sikap pribadi yang bisa dikatakan sebagai ”pemboros”.

Maka, ketika ibuku, berulang kali menawarkan untuk menetap di rumah miliknya yang bertahun-tahun tidak ditempati, aku selalu menolak. Sampai pada akhir tahun 2011, ketika ada pekerjaan di luar kota dan berkesempatan singgah ke rumah ibu di Bogor, aku terlibat dalam pembicaraan santai dengan ibu dan adikku. Pada saat itu,  meluncur lagi tawaran dari Ibu untuk menempati rumahnya.

”Biar aku renovasi rumahnya, daripada setiap tahun bingung pindah-pindah terus,” kata adikku.

”Uang kontrakan bisa digunakan untuk kepentingan lain, ditabung biar bisa membeli rumah atau untuk biaya pendidikan anak-anak. Pasti kamu belum mempersiapkannya,” komentar Ibu..

Akhirnya aku menerima tawaran tersebut. Apalagi, empat bulan lagi masa kontrakan rumah berakhir. Sesampai di Yogya, saat mendiskusikan dengan istri, ia juga menerima tawaran tersebut, dan membenarkan apa komentar ibu terhadapku.

Begitulah, akhirnya renovasi dimulai. Empat tukang dari Bogor yang bekerja bersama adikku, memulai pekerjaannya. Pada masa itu, kesibukan membuatku tidak banyak bisa mengikuti perkembangan secara langsung. Hanya dari informasi dan cerita istri saja.

Tentang rumah, akhirnya melekat dalam kepala. Pikiran mulai terasuki. Ada penyesalan mengapa pikiran ini baru lahir setelah umur menua? Ah.

Renovasi, pada prakteknya malah membangun rumah baru dengan biaya yang sangat lumayan. Pada titik ini, aku merasa bahwa ibu dan adik-adikku tengah ”menyindir” dengan halus dan memberi pembelajaran berharga. Posisi yang terbalik. Sebagai anak tertua, justru bukan aku yang mengambil peran demikian. Rasa malu menyelimuti.

Hampir setahun, rumah bertingkat dua telah berdiri walau pada lantai dua, harus masih banyak yang dikerjakan, dan pada lantai dasar, masih ada beberapa bagian yang mesti diperhalus. Rumah ini sudah bisa ditempati.

”Ini bukan renovasi. Pembangunan terus berkembang, aku malah menjadi semakin tidak enak untuk menempati,” kataku pada adikku.

”Anggap saja sebagai pancingan. Ini juga bukan aku sendirian,” katanya sambil mengulang kontribusi besar dari pasangan hidupnya. Juga dukungan dari adik-adikku yang lain.

Pada masa-masa pembangunan, ibu dan adikku yang terpaksa harus pulang-pergi Jakarta-Yogya, membuat kami sering bertemu dan berbincang mengenai banyak hal.

”Ditawari dari dulu, tapi gak pernah mau,” komentar ibu suatu malam. Dilanjutkan perbincangan hangat yang membuat aku banyak terdiam dan merenung.

Mendapatkan rumah ini, adalah kebanggaan bagi ibu. Perjuangan yang sangat panjang untuk mendapatkan tempat di perumahan rumah sangat sederhana. Permohonan, awalnya ditolak oleh Bank karena ber-KTP Jakarta. Ia berusaha meyakinkan, hingga akhirnya permohonan dikabulkan pada tahun 1994 atau 1995.

Ibu, (aku pernah menulis sedikit tentangnya yang juga terposting di blog ini. Lihat di SINI) merupakan sosok yang tegar dan kuat. Bertahun ia bertarung dengan situasi sulit guna menghidupi enam anaknya. Bapakku sendiri telah meninggal di tahun 1994.

Harapan agar anak-anaknya bisa mengecap dan lulus perguruan tinggi, bisa tercapai. Lima adikku bisa lulus dan meraih gelar sarjana. Hanya aku yang mengecewakan, tidak bisa menyelesaikan dengan baik. Terhenti di tengah jalan.

Adanya rumah, berpengaruh besar pada diriku. Aku mulai merasakan kerinduan terhadap rumah. Menikmati denyut kehidupan di dalamnya. Bersapa dan berdialog dengan anak-istri pada ruang-ruang pertemuan yang memang sempit.

Pada kesempatan ini, aku harus mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada orang-orang tercinta yang telah memberikan perhatian besar pada kami, utamanya Ibuku, dan seluruh adik-adikku beserta pasangan hidupnya: , Opi dan Suki, Rika dan Agusrin, Uus dan Jasmin, Ade dan Senja, Dina dan Bonni.

Yogyakarta, 24 Oktober 2012

5 comments on “Merindu “Pulang”

  1. Pelajaran yg berharga Mas Odi…
    Tentunya tidak pernah ªđª kata terlambat jika kita punya kemauan.
    Sukses ∂ªⁿ Bahagia selalu yah Mas Odi..

    Salam 🙂

  2. Terharu membacanya.
    Namun, aku bangga, akhirnya dirimu mau pulang dan kumpul bersama orang-orang tercintamu, Mas. Betapa saat itu aku mengenal, bergaul, dan bersahabat dengan istrimu yang ruar biasa. Boncengan bertiga ke sana, ke mari, dan terlihat akur selalu. Hingga aku sering “ngece” ibune Bara, “Mbak, Mas Odi perjalanan dari timur ke barat, mampir tengah, ra?” Dijawab oleh istrimu sesantai mungkin, namun pasti hati kecilnya ingin kau mampir ke “tengah”. Kubilang lagi, jika ra iso mampir, pas lewat tengah suruh terjun pakai parasut.
    Ahhh,kapan-kapan tak main ke sana. Mengulangi sajian pas syukuran rumah yang kurang banyak (dan tidak bungkus bawa pulang karena isin) aku mengambil masakan istrimu. Oseng daun katesnya itu lhooo ….., weits mantaps.

    Sekarang kita mung sakplinthengan antarrumahnya. gampang wis…..

Tinggalkan Balasan ke Adhita Didiet Prawatyo Batalkan balasan