Tinggalkan komentar

Prostitusi Anak di Jawa Tengah

PROSTITUSI ANAK DI JAWA TENGAH

Propinsi Jawa Tengah secara administratif merupakan sebuah propinsi yang ditetapkan dengan Undang-undang No. 10/1950 tanggal 4 Juli 1950. Sebagai salah satu Propinsi di Jawa, letaknya diapit oleh dua Propinsi besar, yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur. Letaknya 5o40′ dan 8o30′ Lintang Selatan dan antara 108o30′ dan 111o30′ Bujur Timur (termasuk Pulau Karimunjawa). Jarak terjauh dari Barat ke Timur adalah 263 Km dan dari Utara ke Selatan 226 Km (tidak termasuk pulau Karimunjawa).

Propinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 Kabupaten dan 6 Kota. Luas Wilayah Jawa Tengah sebesar 3,25 juta hektar atau sekitar 25,04 persen dari luas pulau Jawa (1,70 persen luas Indonesia). Luas yang ada terdiri dari 1,00 juta hektar (30,80 persen) lahan sawah dan 2,25 juta hektar (69,20 persen) bukan lahan sawah.

Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2007, jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah sebanyak 32,380,279 yang terdiri dari 16,064,122 laki-laki dan 16,316,157 perempuan.

Persoalan prostitusi dan perdagangan manusia yang terjadi di Indonesia, terutama di Jawa tampaknya tidak terlepas dari sejarah yang panjang. Hull, Sulistyaningsih dan Jones (Dalam Wakhudin, 2006) menelusuri sejarah pelacuran di Indonesia dirunut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahaya. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat ini mempunyai arti tersendiri.

Pemerintah feodal pada masa itu menempatkan Raja sebagai pemilik kekuasaan penuh. Kekuasaan raja yang tak terbatas ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang selir memang putri bangsawan tetapi ada juga yang berasal dari masyarakat kelas bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut statusnya meningkat dan mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana. Makin banyaknya jumlah selir yang dipelihara, bertambah kuat posisi raja di mata rakyatnya. Hanya raja dan kaum bangsawan yang mempunyai selir. Mempersembahkan saudara atau anak perempuan kepada pejabat tinggi lainnya merupakan tindakan yang didorong oleh hasrat untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan. Perempuan yang dijadikan selir tersebut berasal dari daerah tertentu yang terkenal banyak mempunyai perempuan cantik dan memikat. Daerah-daerah seperti ini sekarang terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota

Koentjoroningrat (1989) mengidentifikasi  ada 11 Kabupaten di Jawa yang yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan,  dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai sumber wanita pelacur untuk daerah kota. Empat Kabupaten diantaranya adalah di Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Pati, Jepara, Grobokan dan Wonogiri.[1]

Kondisi seperti ini telah menjadi salah satu landasan dimana nilai- nilai perempuan sebagai barang dagangan yang diperjual-belikan untuk memenuhi tuntutan nafsu laki-laki dan untuk menunjukkan adanya kekuasaan dan kemakmuran.

Tampaknya tidak ada wilayah di dunia ini yang sama sekali bersih dari kegiatan prostitusi. Demikian halnya di Propinsi Jawa Tengah, kegiatan prostitusi ada di semua kota dan kabupaten, dengan penghuni yang berasal dari kota/kabupaten itu sendiri atau berasal dari luar wilayah termasuk di luar propinsi Jawa Tengah. Kegiatan ini tersebar di berbagai tempat seperti lokalisasi, tempat-tempat wisata, tempat-tempat hiburan seperti cafe dan diskotik, di seputar stasiun, pasar, dan jalan-jalan.

Beberapa lokalisasi di Jawa Tengah yang pernah dikenal hingga ke luar wilayah, diantaranya:

  1. Lokalisasi silir di Surakarta. Ini merupakan lokalisasi pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1961. Lokalisasi ini sudah ditutup secara resmi pada tahun 1998. Namun kemudian, praktik prostitusi masih tetap berlangsung di kawasan tersebut, hingga akhirnya benar-benar ditutup dan berhenti sebagai lokalisasi pada tahun 2008.
  2. Lokalisasi Argorejo yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kuning di Semarang yang didirikan pada tahun 1966 melalui SK Walikotamadya Semarang No 21/5/17/66 tertanggal 15 Agustus 1966. Lokalisasi ini secara resmi sudah ditutup – bersama dengan lokalisasi Gambilangu melalui keputusan Walikotamadya Semarang No. 462.3/529/1984. Namun penutupan ini tidak efektif dan praktik lokalisasi masih berlangsung hingga saat ini.
  3. Lokalisasi Gang Sadar di kawasan wisata Batu Raden, ini merupakan lokalisasi terbesar di Kabupaten Banyumas yang mulai berdiri sejak tahun 80-an. Secara resmi lokalisasi ini telah ditutup, namun hingga saat ini praktik prostitusi masih tetap berlangsung.

Pada peraturan perundangan di tingkat nasional, tidak ada larangan terhadap orang yang melakukan kegiatan prostitusi. Tindakan pidana hanya ditujukan kepada orang-orang yang mengambil keuntungan dari praktik prostitusi. Pengaturan mengenai prostitusi lebih diatur di tingkat kota atau kabupaten.  Sejak tahun 1961 pemerintah telah berupaya untuk melokalisir praktek prostitusi agar tidak tersebar dimana-mana dengan membuka dan menyediakan areal yang terlokalisir untuk menampung para PSK, yang diawali dari lokalisasi Silir di Solo. Lokasi ini menjadi tempat rehabilitasi sosial (Resos) bagi para PSK yang dimaksudkan agar para PSK dapat kembali ke masyarakat. Hal ini kemudian dikembangkan oleh setiap kota/kabupaten yang diatur di dalam Peraturan Daerah. Setiap kota/kabupaten juga memiliki Peraturan Daerah mengenai larangan praktik prostitusi di luar pusat rehabilitasi sosial yang telah disediakan dan dikenal dengan istilah prostitusi liar.

Ketika reformasi, sejak tahun 1998 muncul desakan dari masyarakat yang menuntut pemerintah untuk melakukan penutupan lokalisasi. Desakan yang sangat kuat menyebabkan pemerintah kota/kabupaten mengeluarkan peraturan tentang penutupan rehabilisasi sosial tersebut. Pada saat ini, dapat dikatakan tidak ada lagi lokalisasi yang bersifat legal.

Di banyak tempat, ketika lokalisasi ditutup, para PSK menyebar ke berbagai tempat termasuk di jalan-jalan utama sehingga keberadaan praktik prostitusi semakin menyebar. Selain itu, tempat-tempat praktek prostitusi yang telah ditutup,  kemudian dibuka lagi oleh para pengelola tanpa jaminan aturan dari pemerintah sehingga bersifat ilegal.  Pengawasan dan kontrol dari pemerintah tidak ada lagi terhadap lokalisasi-lokalisasi ilegal tersebut sehingga menyebabkan perekrutan penghuni lokalisasi menjadi tidak terkontrol. Salah satunya adalah perekrutan terhadap anak-anak yang dijerumuskan ke lokalisasi tersebut. Beberapa kasus yang muncul seperti di Sunan Kuning, Gambilangu (Semarang), dan Gang Sadar (Banyumas). Anak-anak ini berasal dari luar kota yang bisa diidentifikasikan pula sebagai korban perdagangan anak untuk tujuan seksual.

Berdasarkan bahan-bahan tertulis, persoalan ESKA yang telah banyak diungkap di Provinsi Jawa Tengah adalah di kota Semarang dan Kota Surakarta.[2] Keberadaan anak-anak yang menjadi korban ESKA khususnya prostitusi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual di kedua kota tersebut memang tampak menonjol. Di Semarang, keberadaan ciblek, istilah yang digunakan untuk menyebut anak-anak yang dilacurkan, sangat menonjol di tahun 2000-an. Hal ini menarik media masa nasional untuk membuat liputan khusus mengenai ciblek. Bahkan salah satu stasiun televisi nasional telah membuat sinetron mengenai kehidupan ciblek dan telah menayangkannya. Di Solo, istilah yang diperkenalkan oleh sebuah LSM Anak adalah “Ayla” yang merupakan kependekan dari “anak-anak yang dilacurkan”. Di Solo, kasus yang menarik perhatian msyarakat dan menjadi keprihatinan bagi kita semua adalah keberadaan para siswi di sebuah sekolah lanjutan atas yang telah dijerumuskan ke prostitusi. Di kedua kota tersebut, selain diketahui sebagai tempat tujuan dari perdagangan anak untuk tujuan seksual, juga menjadi daerah transit dan daerah pengirim ke daerah lain.

Anak-anak yang menjadi korban ESKA, diduga tidak hanya terjadi di dua kota tersebut. Pemberitaan media massa khususnya pada awal tahun 2000-an telah menginformasikan adanya kemunculan anak-anak yang dilacurkan kendati belum terlalu menonjol. Ini ditandai dengan adanya istilah-istilah khusus yang merujuk sebagai panggilan ke anak-anak yang dilacurkan atau mengadopsi istilah “ciblek” yang banyak digunakan di kota-kota lain. Beberapa kota yang pernah diberitakan mengenai keberadaan anak-anak yang dilacurkan adalah Klaten, Magelang, Purworejo, Kebumen, Pekalongan, Tegal, dan Purwokerto,

Salah satu dampak dari prostitusi adalah penyebaran Penyakit Menular Seksual dan HIV AIDS. Jawa Tengah, berdasarkan data statistik dari Dirjen PP dan PL Departemen Kesehatan RI, Jawa tengah menempati urutan ke tujuh penderita HIV AIDS di Indonesia.

Mengenai pornografi anak, ada perkembangan yang mengkhawatirkan mengingat persebaran yang cepat dan kemudahan untuk mengaksesnya melalui fasilitas teknologi yang pada saat ini tidak tergolong mewah lagi, yaitu internet dan HP.  Beberapa tahun terakhir kita sering dikejutkan dengan beredarnya foto-foto “syur” dan video mesum yang menempatkan anak sebagai subyeknya. Foto dan film mesum ini beredar melalui HP dan dapat dengan mudah diakses di berbagai situs pornografi.

Kasus-kasus pornografi anak yang terjadi di Jawa Tengah juga sudah dijumpai. Beberapa kasus yang pernah mengemuka ke publik  dalam dua tahun terakhir,  diantaranya adalah: beredarnya 200 foto topless dengan berbagai fose yang diduga foto seorang siswi SMA di Kabupaten Demak. Foto ini diduga disebarkan ke para pelajar di Demak oleh seorang netter dari Semarang melalui komunikasi chatting (radar Semarang, 22 Juli 2008), beredarnya rekaman video mesum yang melibatkan seorang Kepala Desa di Klaten dengan seorang siswi SMP. Di duga anak tersebut dijual oleh ibunya sendiri dengan bukti transfer uang dan pernyataan dari anak tersebut (Suara Merdeka, 4 &  8 Maret 2008, dan 2 Juli 2008). Berdasarkan kasus-kasus tersebut, terbuka kemungkinan kasus serupa juga terjadi di berbagai kota/kabupaten yang lain termasuki di lokasi pemetaan. Namun penyebarannya masih bersifat tersembunyi dan belum mengemuka ke publik.

Propinsi Jawa Tengah dikenal sebagai salah satu daerah pengirim tenaga kerja ke luar negeri. Pada tahun 2008, TKI dari Jawa Tengah yang tercatat sebagai tenaga kerja legal yang ditempatkan di Malaysia 12.942 orang, Singapura 4.467 orang, Hongkong 3.619 orang, Taiwan 623 orang, Arab Saudi 3.078 orang, Kuwait 82 orang, Abu Dhabi 366 orang, Oman 89 orang, Qatar 57 orang, negara lainnya 603 orang. Sementara pada tahun 2009 hingga Mei telah dikirim 3.808 orang TKI Jateng ke Malaysia, Singapura 1.326 orang, Hongkong 1.300 orang, Taiwan 338 orang, Arab Saudi 1.493 orang, Kuwait 147 orang, Abu Dhabi 108 orang, Oman 146 orang, Qatar 97 orang, dan negara lainnya 112 orang. Khusus untuk Malaysia, diperkirakan TKI dari Jawa Tengah yang bekerja di sana mencapai 90-an ribu orang.

Para TKI yang juga sering disebut sebagai pahlawan devisa, telah menyumbang cukup besar bagi Jawa Tengah. Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia, Endro Dwi Cahyo, devisa yang masuk dari para TKI asal Jawa Tengah yang bekerja di Malaysia selama tahun 2008 senilai Rp. 8 triliun. Ia mencatat bahwa data tersebut berdasarkan catatan resmi Bank Indonesia. Pada kenyataannya banyak TKI yang masih secara tradisional pulang dengan mengantongi uang atau mengirim dari biro jasa tidak resmi. Endro memperkirakan jumlahnya bisa mencapai dua kali lipat atau Rp. 16 triliun (Antara News, 21 Juli 2009)

Beberapa kota yang dikenal sebagai daerah pengirim tenaga kerja, ke luar negeri adalah Cilacap, Kendal, Wonosobo, Brebes, Pati, dan Grobogan. Kendati demikian, kabupaten lain juga diketahui sebagai daerah pengirim TKI. Bila menghitung para pekerja yang bekerja di luar wilayahnya termasuk yang masih berada di dalam wilayah Indonesia, tentunya akan didapatkan angka yang besar.

Daya tarik untuk bekerja ke luar wilayah semakin tinggi mengingat banyak pengalaman orang-orang yang kembali ke daerahnya masing-masing mampu menunjukkan bahwa kehidupan ekonominya semakin baik. Modeling semacam ini menyebabkan masyarakat menjadi rentan untuk direkrut sebagai pekerja migran. Pada banyak kasus, perekrutan tenaga kerja juga dilakukan oleh perusahan-perusahaan ilegal atau oleh kelompok-kelompok terorganisir yang sangat aktif melakukan jemput bola untuk mendapatkan mangsa. Melalui tawaran-tawaran yang menggiurkan, orang-orang dijerumuskan ke wilayah lain dan memasuki situasi yang berbeda dari apa yang telah dijanjikan. Pada konteks inilah terjadi apa yang disebut dengan perdagangan manusia.

Anak-anak adalah satu kelompok yang juga menjadi sasaran dari perdagangan manusia. Mereka dijerumuskan ke dalam pekerjaan yang bersifat eksploitatif seperti buruh terpasung, PRT ataupun dalam prostitusi.

Pada konteks ESKA, salah satu bentuknya adalah perdagangan anak untuk tujuan seksual. Di berbagai kota/kabupaten di Jawa Tengah, kasus-kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual sudah banyak terungkap. Mereka di perdagangkan ke kota-kota lain di dalam wilayah Jawa Tengah atau kota-kota besar di Pulau Jawa atau ke propinsi-propinsi lain di luar Pulau Jawa, termasuk juga ke luar negeri.

Pada beberapa studi dapat terlihat bahwa Provinsi Jawa Tengah dapat dikatakan sebagai daerah pengirim, daerah transit dan daerah tujuan (lihat misalnya Prabandari, 2004; Shalahuddin, 2004; ILO, 2006).

 

Daerah Asal Anak Daerah Tujuan
Jepara Semarang – Jawa TengahJambi – Jambi

Medan – Sumatra UtaraWonosoboSemarang – Jawa TengahJakarta – DKI

Riau – Kepulauan Riau

Medan – Sumatra Utara

MalaysiaKebumenSingapuraBanyumasCiamis – Jawa BaratBandung – Jawa Barat

TegalPurwokerto – Jawa TengahBogor – Jawa Barat

Berdasarkan gambaran di atas, anak-anak yang menjadi korban ESKA telah dapat dijumpai di Propinsi Jawa Tengah.


[1] Tujuh kabupaten lainnya adalah di Jawa Barat, yaitu  Kabupaten Indramayu, Karawang, dan Kuningan dan di Jawa Timur, yaitu Blitar, Malang, Banyuwangi dan Lamongan.

[2] Beberapa bahan studi mengenai ESKA atau bentuk-bentuk ESKA di Semarang baik yang difokuskan pada kota itu atau menjadi bagian dari studi di beberapa kota, diantaranya: Shalahuddin, 2000; Shalahuddin 2004; ILO, 2004; Budiyawati dan Shalahuddin, 2007; Sedangkan untuk kotaSurakarta, lihat UNICEF, 2004;

__________________

Catatan:

Tulisan ini diambil dari “Laporan Pemetaan Situasi Eksploitasi Seksual Komersial Terhadap Anak di Lima Kabupaten di Jawa Tengah“, Yayasan Setara bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Perempuan Jawa Tengah yang didukung oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2009. Untuk la;poran lengkap bisa menghubungi melalui email ke odi_sh@yahoo.com

 

Tinggalkan komentar