Tinggalkan komentar

Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual

Oleh: Odi Shalahuddin

“ Hak anak atas perlindungan dari
eksploitasi dan penganiayaan seksual,
termasuk prostitusi dan pornografi,”

( KHA, pasal 34 )

Pendahuluan

Kekerasan, eksploitasi seksual, dan eksploitasi seksual komersial terhadap anak telah menjadi perhatian dunia internasional. Badan-badan PBB, organisasi bisnis, NGO Internasional dan pemerintah di berbagai Negara telah melahirkan berbagai seruan, rekomendasi, kebijakan dan program untuk memberikan perlindungan terhadap anak.

Diadopsinya Konvensi Hak- hak anak (KHA) oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989 yang merupakan perubahan radikal dalam cara pandang terhadap anak yang semula lebih bersifat karitatif menjadi pendekatan hak, menjadi dasar pijakan bagi gerakan perlindungan anak secara universial. Dalam konteks isu yang dibahas dalam tulisan ini, gerakan bersama secara internasional telah dimulai dengan berlangsungnya Kongress Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak yang berlangsung di Stockholm, Swedia pada Agustus 1996 yang telah menghasilkan deklarasi dan agenda aksi internasional. Isu yang lebih spesifik yaitu prostitusi dan perdagangan anak (untuk tujuan seksual) telah direspon pula di dalam Konvensi ILO No. 182 mengenai penghapusan Segera Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi anak.

Pemerintah Indonesia telah mengikatkan diri didalam, ketiga instrument internasional tersebut. KHA telah diratifi – kasi melalui Keppres No. 36 tahun 1990 dan Konvensi ILO telah diratifikasi dengan Undang – undang No. 1 tahun 2000. dengan meratifikasi konvensi tersebut berarti pemerintah Indonesia telah secara sukarela mengikatkan diri secara yuridis (dan politik) dan memiliki kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut. Sedangkan ketentuan dalam deklarasi, pelaksanaanya hanya bersifat moral.

Pertanyaan yang pentiang dikemukakan adalah sejauh mana situasi kekerasan, eksploitasi seksual dan eksploitasi seksual komersial terhadap anak di Indonesia dan sejauh mana Negara (dalam hal ini penyelenggara Negara) telah melaksanakan kewajibannya memberikan jaminan perlindungan terhadap anak dari kekerasan, eksploitasi seksual dan eksploitasi seksual komersial?

Situasi Umum

Kekerasan, eksploitasi seksual dan eksploitasi seksual komersial oleh para aktivitas hak – hak anak sering disebut sebagai “ kejahatan seksual terhadap anak “. Menurut Farid (1997), penggunaan istilah tersebut untuk lebih memberikan bobot kriminal atas tindak semacam itu. Upaya mengkriminalisasikan tindak eksploitasi seksual (komersial) terhadap anak serta menghukum semua pelaku yang terlibat namun menjamin agar anak yang menjadi korban tidak dihukum telah resmi diterima sebagai deklarasi dari Kongress Dunia Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak yang berlangsung di Stockholm – Swedia pada Agustus 1996. berkenan dengan keterangan ini, istilah “ kejahatan seksual “ selanjutnya akan diguakan dalam tulisan ini.

Kejahatan seksual terhadap anak telah terjadi di Indonesia sebagai fakta yang tak terbantahkan. Informasi atas kasus pelecehan, penganiayaan seksual, perkosaan, prostitusi anak, perdagangan anak dan pornografi anak sering ( atau setidaknya pernah ) terungkap terutama melelui pemberitaan media massa. Pembuktian yang sangat sederhana, cermatilah pemberitaan media massa dua – tiga bulan terakhir. Kita akan menjumpai hampir setiap hari terjadi kasus kejahatan seksual dalam berbagai bentuknya.

Sebagai gambaran umum, berikut ini adalah situasi kejahatan seksual dalam berbagai bentuknya yang terjadi di Indonesia.

Kasus pelecehan dan penganiayaan seksual terhadap anak diyakini sering terjadi. Namun untuk mendapatkan perkiraan jumlah yang tepat atau setidaknya mendekati kenyataan dirasa sulit mengingat banyak kasus yang tidak terlaporkan. Pusat Pariwisata UGM (1999) yang melakukan penelitian di lima kota mengenai “Child abused“ menemukan adanya kekerasan seksual terhadap anak. Di Semarang yang menjadi salah satu lokasi penelitian, ditemukan hampir 60 % anak pernah mengalami kekerasan seksual. Pada kelompok anak yang lebih spesifik yaitu anak jalanan perempuan di Semarang, Yayasan Setara berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 1999 menyatakan hampir seluruh anak jalanan pernah mengalami pelecehan seksual.

Perkosaan terhadap anak, dalam banyak kasus juga sering tidak dilaporkan oleh korban. Purnianti Mungunsong (Suara Merdeka, 12 Juli 1993) memperkirakan jumlah keseluruhan kasus perkosaan mencapai 1500-2000 per tahun. Mohammad Farid (1998) yang melakukan penghitungan atas berita-berita perkosaan tahun 1994-1996 yang dihimpun Kalyanamitra menemukan bahwa setiap tahunnya rata-rata 60% korban perkosaan adalah anak-anak. Mengacu kepada jumlah kasus perkosaan yang dinyatakan oleh Mangunsong, Farid memperkirakan jumlah perkosaan terhadap anak di Indonesia tak kurang dari 900-1200 kasus. Kasus perkosaan diyakini meningkat tajam setiap tahunnya dan terjadi kecenderungan korbannya lebih mengarah kepada anak–anak. Hasil monitoring di Jawa Tengah yang di lakukan oleh K3JHAM ( sekarang berganti nama menjadi LRC KJHAM ) pada tahun 2000 mencatat 65% korban perkosaan adalah anak-anak. Sedangkan hasil monitoring Yayasan KAKAK pada periode Januari-September 2001 di wilayah yang sama mencatat 80% korban perkosaan adalah anak-anak.

Prostitusi anak atau anak yang dilacurkan yang semula bersifat tersembunyi pada perkembangannya semakin terbuka dan diketahui oleh public. Keberadaan prostitusi anak ini telah menyebar tidak hanya di kota – kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan dan sebagainya, tetapi juga di kota-kota kecil. Farid (1998) memperkirakan jumlah anak yang dilacurkan sekitar 30% dari keseluruhan PSK yang ada. Perkiraan ini didasarkan dengan memperhatikan berbagai factor yang sering kali terlewatkan di dalam melihat atau memperkirakan jumlah anak yang dilacurkan seperti seseorang yang sudah menikah di usia berapapun secara legal dan cultural tidak lagi dianggap anak, keberadaan ABG yang seringkali luput dari perhitungan, dan dugaan terjadinya pemalsuan umur. Selain itu juga didasarkan dengan mencermati informasi – informasi yang tersedia. Dengan mengacu kepada perkiraan dari Jones, Sulistyaningsih & Hull bahwa jumlah seluruh PSK di Indonesia mencapai sekitar 140.000-230.000, maka Farid memperkirakan jumlah prostitusi anak di Indonesia mencapai angka 40.000 – 70.000.

Perdagangan anak untuk tujuan seksual juga terjadi di Indonesia baik dengan tujuan di daerah lain yang masih wilayah Indonesia ataupun ke luar wilayah Indonesia. Sejauh ini belum diketehui adanya data perkiraan mengenai anak yang menjadi korban perdagangan untuk tujuan seksual. Dari berbagai informasi media massa tentang terbongkarnya jaringan perdagangan manusia terutama yang terjadi di wilayah Indonesia, terlihat kecenderungan bahwa sebagian besar korbannya adalah anak-anak. Sejauh informasi yang diketahui oleh penulis, penelitian untuk mengungkap perdagangan anak telah dimulai sejak tahun 2000 di berbagai kota.

Pornografi anak, sejauh ini belum ada informasi mengenai penggunaan anak untuk kepentingan pornografi. Kita tentunya berharap tidak ada kasus semacam ini. Namun mencermati pemberitaan media massa mengenai terbongkarnya jaringan pornografi anak di Texas beberapa waktu yang lalu, diketahui bahwa ada dua orang Indonesia yang diduga sebagai pemasok bahan pornografi anak dinyatakan buron. Sebagai asumsi sederhana, apabila pemasok bahan pornografi berasal dari Indonesia, kemungkinan besar ada penggunaan anak Indonesia sebagai obyek pornografi.

Peranan Negara dalam Melaksanakan Kewajiban

Kejahatan seksual terhadap anak merupakan persoalan serius yang selayaknya perlu mendapatkan prioritas perhatian dari negara untuk segera mengatasinya mengingat anak- anak yang menjadi korban telah direndahkan harkat dan martabatnya serta akan mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan sepanjang hidupnya. Dari uraian ringkas atas situasi umum diketahui bahwa sudah puluhan ribu anak-anak Indonesia menjadi korban kejahatan seksual. Pada kasus perkosaan, prostitusi dan perdagangan anak, secara kuantitas ada kecenderungan anak-anak yang menjadi korban senantiasa akan terus meningkat.

Tentunya harapan kita semua bahwa kejahatan seksual terhadap anak dapat berkurang drastis atau terhapus sama sekali. Harapan ini hanyalah sekedar harapan apabila tidak ada upaya-upaya strategis untuk mengatasinya. Peranan Negara menjadi sangat penting, terlebih mengingat negaralah yang memiliki kewajiban untuk menjaga dan memenuhi hak-hak anak.

Kembali kepada pertanyaan yang dikemukakan di bagian pendahuluan, sejauh mana Negara (dalam hal ini penyelenggara Negara) telah melaksanakan kewajibannya memberikan perlindungan terhadap anak dari kejahatan seksual.

Kewajiban dasar dalam perspektif HAN/HAM yang harus dilakukan oleh Negara adalah kewajiban menghormati atau respect, kewajiban melindungi atau protect dan kewajiban memenuhi atau fulfill. Kewajiban menghormati berarti bahwa Negara tidak boleh merusak standart hak sebagaimana yang diakui dalam konvensi. Kewajiban ini disebut juga sebagai kewajiban negative. Kewajiban melindungi menghendaki Negara harus melakukan sesuatu guna melindungi agar anak tidak terlanggar hak-haknya. Kewajiban ini disebut juga sebagai kewajiban positif. Sedangkan kewajiban memenuhi yang juga merupakan kewajiban positif menghendaki Negara agar melakukan intervensi.

Dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak, bentuk pelaksanaan kewajiban Negara dapat dicontohkan sebagai berikut; Menghormati, artinya otoritas-otoritas Negara tidak boleh melakukan kejahatan seksual terhadap anak. Melindungi, artinya Negara harus melakukan sesuatu agar anak tidak menjadi korban kejahatan seksual dengan jalan melahirkan peraturan perundangan ataupun kebijakan-kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap anak. Memenuhi, artinya Negara harus menjamin agar anak yang menjadi korban kejahatan seksual dapat memperoleh pelayanan pemulihan.

Meski pemerintah Indonesia telah meratifikasi KHA lebih dari 10 tahun yang lalu, pelaksanaan tiga kewajiban dasar oleh Negara untuk menjamin tegaknya hak-hak anak dinilai belum memadai. Ini menunjukan belum adanya perhatian yang serius terhadap anak-anak. Pada kasus kejahatan seksual yang sasarannya semakin mengarah kepada anak-anak sebagaimana tergambar dalam bagian sebelumnya, Negara juga masih belum menunjukan upaya nyata yang serius di dalam melakukan upaya preventif, protection dan recovery baik di dalam langkah-langkah legislasi, administrasi dan program-program intervensi. Pengabaian pemerintah dalm mengatasi kejahatan seksual terhadap anak akan lebih tampak bila dikaitkan dengan kesepakatan-kesepakatan yang tertuang dalam agenda aksi yang dihasilkan dalam kongres dunia menentang eksploitasi seksual komersial yang salah satunya menyatakan bahwa Negara peserta harus telah menyusun Rencana Aksi nasional (RAN) pada tahun 2000. namun hingga saat ini Indonesia belum memiliki RAN yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan program belum terumuskan, maka tentunya tidak ada program yang dilaksanakan. Kenyataan ini tentu saja sangat menyedihkan.

Di tengah gencarnya gerakan internasional dalam memerangi kejahatan seksual terhadap anak, ketidakseriusan Indonesia mendapatkan sorotan yang tajam. Dalam konteks memerangi perdagangan anak misalnya, belum lama ini kita dikejutkan oleh pernyataan ESCAP (Komite Sosial Ekonomi PBB untuk wilayah Asia – Pasific) yang menempatkan Indonesia pada peringkat ketiga atau terendah. Negara dalam peringkat ini dikategorikan sebagai Negara yang tidak mempunyai standart pengaturan tentang perdagangan anak dan perempuan dan tidak mempunyai komitmen untuk mengatasi masalah itu. Tidak sebatas pernyataan, ESCAP dan ILO telah mengeluarkan ancaman untuk memberikan sangsi yuang berat bagi Indonesia. Ancaman serupa datang pula dari pemerintah amerika Serikat yang akan mencabut fasilitas GSP (fasilitas umum perdagangan bagi negara berkembang) bagi Negara-negara yang bermasalah dengan child trafficking, termasuk Indonesia.

Apabila pada saat ini pemerintah Indonesia melalui Mentri Negara Pemberdayaan Perempuan disibukan untuk merespon kasus perdagangan anak (dan perempuan) dengan menawarkan pembentukan Badan Anti Trafficking dan penyusunan Rencana aksi nasional, tidaklah berlebihan seandainya ada pandangan bahwa perhatian ini muncul berkat adanya desakan internasional bukan lantaran kemauan baik dari Negara.

Jaminan Perlindungan

Jaminan perlindungan terhadap anak dari kejahatan seksual yang menjadi dasar penyelesaian hukum mengacu kepada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan sebagai aturan pelaksanaannya adalah Kitab Undang-undang hukum Acara Pidana (KUHP). Dengan lahirnya UU No. 3 tahun 1997 mengenai Peradilan Anak, maka tata cara pengadilan menggunakan aturan ini meski dalam prakteknya sering dijumpai proses yang bertentangan dengan isi dan semangat UU tersebut.

Mencermati aturan-aturan yang terkandung dalam KUHP yang berhubungan dengan kejahatan seksual terhadap anak, dinilai oleh para aktivis hak-hak anak sudah tidak memadai lagi sebagai wujud keadilan bagi anak mengingat ancaman hukuman kepada para pelaku kejahatan seksual yang dinilai sangat rendah berkisar antara 5–12 tahun yang tidak sebanding dengan akibat dan dampaknya terhadap korban. KUHP juga dinilai tidak mampu merespon bentuk-bentuk dan wacana mengenai kejahatan seksual yang berkembang serta paradigma baru di dalam memandang anak sebagai subyek yang memiliki hak-hak asasi sebagai manusia.

Kejahatan seksual yang diatur dalam KUHP termuat dalam Bab IV mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan. Aturan-aturan yang berhubungan dengan kejahatan seksual terhadap anak mencakup tentang perkosaan (Pasal 285) dan pencabulan (pasal 287, 290, 292, 293 ayat 1 dan 294 ayat 1), pelacuran (pasal 296 dan 506), perdagangan anak untuk tujuan seksual ( pasal 297, 263 ayat 1 dan pasal 277 ayat 1 ), dan pornografi anak ( Pasal 283 ).

Perkosaan dan Pencabulan

Tindakan perkosaan diancam dengan hukuman maksimum 12 tahun (Pasal 285). Pada berbagai kasus penyelesaian hukum, syarat dakwaan mengarah pada tindakan penetrasi penis-vaginal yang dilakukan dengan kekerasan yang lebih bersifat fisik. Meski tindakan adanya ancaman kekerasan juga dimasukkan sebagai unsure perkosaan, namun dalam pelaksanaan apabila tidak ada bukti kekerasan sangat sedikit (atau bahkan belum pernah dilakukan) dilakukan upaya pembuktian adanya ancaman kekerasan. Dalam hal ini anak yang menjadi korban, seringkali kasus perkosaan dinyatakan sebagai pencabulan terhadap anak yang ancaman hukumannya lebih ringan.

Pada pasal 287 ayat 1, ancaman hukuman pidana penjara maksimum 9 tahun ditunjukan kepada pelaku yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang berumur dibawah 15 tahun yang merupakan delik aduan. Pengecualian ditunjukan apabila korban belum berumur 12 tahun (ayat 2) dan apabila mengakibatkan luka berat dan kematian (Pasal 291). Pemaksaan perbuatan cabul atau membujuk untuk melakukan tindakan cabul atau melakukan hubungan seksual dengan orang lain, diancam hukuman pidana penjara maksimum 7 tahun ( pasal 290). Sedangkan pencabulan/homoseksual dengan orang yang belum dewasa/matang diancam hukuman maksimum 5 tahun penjara (pasal 292). Terhadap anak yang berumur dibawah 15 tahun atau membujuk anak berumur. Pasal 293 (1) melarang perbuatan cabul terhadap orang yang belum cukup umur dengan cara membujuk dengan menawarkan balas jasa berupa uang atau lainnya atau dengan menggunakan pengaruh dari hubungan yang ada dengan korban atau dengan cara menipu diancam hukuman maksimum 5 tahun penjara. Pasal 294 (1) mengancam hukuman 7 tahun penjara bagi tindakan perbuatan cabul yang dilakukan oleh orangtua . wali anak.

Pelacuran

Di dalam KUHP tidak ada pasal yang memberikan larangan bagi seseorang yang melakukan praktek pelacuran. Larangan dan ancaman hukuman lebih ditunjukan kepada seseorang yang mengambil keuntungan dengan cara membantu terjadinya perbuatan cabul (pasal 296), yaitu dengan ancaman maksimum I tahun dan 4 bulan penjara atau denda Rp. 15.000,- dan bagi tindakan mucikari atau mengambil keuntungan dari pelacuran (pasal 506) dengan ancaman hukuman 3 bulan penjara.

Perdagangan Anak (untuk Tujuan Seksual)

Hal yang diatur dalam KUHP pasal 297 adalah perdagangan perempuan dan laki-laki yang belum dewasa. Dalam pasal ini pelaku diancam hukuman maksimum 6 tahun penjara. Hal yang terkait dengan perdagangan perempuan dan anak adalah pemalsuan surat-surat/sertifikat (pasal 263 ayat 1) yang diancam hukuman maksimum 6 tahun penjara, dan menyembunyikan identitas seseorang yang sebenarnya (pasal 171 ayat 10) yang diancam dengan hukuman maksimum 6 bulan penjara.

Pornografi Anak

Ketentuan yang diatur berkenaan dengan pornografi anak termuat dalam pasal 283, yang melarang tindakan sengaja untuk menawarkan, menyerahkan atau menunjukan naskah atau gambar atau bahan pornografi kepada anak di bawah 17 tahun (ayat 1), pemaksaan terhadap anak untuk mendengar isi dari surat atau yang berlawanan dengan norma kesopan umum (ayat 2). Pelanggaran atas pasal dari kedua ayat tersebut diancam mendapatkan hukuman maksimum 9 bulan penjara atau denda Rp. 9.000,-. Sedangkan pada pasal 33 yang mengatur tindakan tidak sengaja untuk menawarkan, menyerahkan atau memperlihatkan naskah, mendengarkan isi surat atau maskah pornografi untuk seseorang berumur di bawah 17 tahun diancam hukuman maksimum 4 bula penjara atau denda Rp. 9.000,-.

Mencermati aturan-aturan yang terkandung dalam KUHP berkenaan dengan kejahatan seksual terhadap anak, ada beberapa catatan penting yaitu; pada kasus perkosaan ukuran yang digunakan terlalu sempit (hanya bila ada penetrasi secara paksa), ancaman hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan seksual masih sangat rendah, apabila anak yang menjadi korban, ancaman hukuman terhadap pelaku lebih rendah dibandingkan bila korbannya adalah orang dewasa, batas kematangan seksual yang tersirat dalam pasal yang ada sangat rendah yaitu di bawah 12 tahun yang maknanya bahwa seorang anak yang berumur 12 tahun ke atas bukanlah disebut korban pencabulan apabila ia tidak mengadukan kejadian yang dialaminya, prostitusi bukanlah tindakan criminal, tidak termuatnya aturan mengenai perdagangan anak perempuan (yang dalam realitas menjadi korban terbesar), dan tidak termuatnya aturan mengenai anak yang dijadikan obyek pornografi.

Catatan Akhir

Kejahatan seksual dalam berbagai bentuknya merupakan realitas yang hadir dalam kehidupan kita. Perkembangan yang terjadi memperlihatkan bahwa pelaku kejahatan seksual cenderung menjadikan anak-anak sebagai korbannya, terbukti prevalensi anak yang menjadi korban semakin tinggi di bandingkan dengan orang dewasa. Di tengah perkembangan situasi semacam ini, peraturan perundangan yang digunakan dalam proses penyelesaian hukum tidak mampu menjamin perlindungan terhadap anak dari kejahatan seksual dan tidak mencerminkan keadilan bagi anak.

Meskipun Indonesia telah meratifikasi KHA dan instrument internasional lainnya yang berhubungan dengan hak-hak anak, ternyata belum menjamin kepedulian Negara dalam menegakkan hak-hak anak.

Mengingat anak yang menjadi korban telah direndahkan harkat dan martabatnya serta mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan sepanjang hidupnya dan pada banyak kasus, para korban kerapkali akan mengalami tindakan kekerasan dalam berbagai bentuknya dari berbagai pihak termasuk dari keluarganya. persoalan paling umum adalah para korban dipandang telah menebar aib, sehingga orangtua / keluarga dan komunitas mengasingkan atau mengusir sang anak dari rumah atau komunitasnya. Pihak sekolah-pun dengan alasan yang sama mampu melahirkan kebijakan untuk mengeluarkan sang korban dari sekolah. Pandangan tentang aib ini pula yang menjadi factor dominan sebagian besar korban kekerasan dan eksploitasi seksual tidak melaporkan kasus yang dialaminya.

Yogyakarta, 12 November 2001

_____________________________

 


Tinggalkan komentar