Tinggalkan komentar

Darah Juang dalam Romantika Revolusi-nya Bung John Tobing

DARAH JUANG

Di sini negeri kami
tempat pagi terhampar
samudranya kaya raya
tanah kami subur, Tuhan

Di negeri permai ini
berjuta rakyat bersimbah luka
anak kurus tak sekolah
pemuda desa tak kerja

Reff:
mereka dirampas haknya
tergusur dan lapar
bunda relakan darah juang kami
tuk membebaskan rakyat
padamu kami berjanji

CIMG1698Darah Juang”, sebuah lagu yang tidak hanya dikalangan aktivis mahasiswa saja, melainkan telah menyebar ke berbagai komponen masyarakat, menjadi penyemangat, perekat dan pemersatu. Lagu yang senantiasa hadir dalam berbagai rapat-rapat akbar, aksi massa, dan pertemuan-pertemuan kelompok pro-demokrasi.

Lagu ini awalnya tersebar dalam kelompok-kelompok kecil, dalam pelatihan dan pertemuan mahasiswa, berkembang pada kegiatan-kegiatan OPSPEK, dan semakin meluas ke berbagai wilayah Indonesia. Aktivis gerakan massa, pasti mengenal dan pernah menyanyikan lagu ini.

Sekarang tentu lebih mudah untuk menemukan lagu ini. Lagu yang telah diaransemen oleh berbagai kelompok musik dengan genre yang berbeda-beda, bisa kita dapatkan di ”Youtube”. Kita akan dengarkan lagu-lagu yang diaransemen, misalnya oleh Kelompok musik Lontar, Marginal, Somasi, Teknoshit, dan Kepal SPI.

Lagu itu telah melekat dan dikenal luas, namun belum tentu semua mengenal sosok sang penciptanya. Ialah Johnsoni Marhasak Lumbantobing atau dikenal dengan panggilan akrabnya John Tobing. Menurutnya, lagu itu diciptakan menjelang kongres pertama Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY) pada tahun 1991 yang merupakan himpunan dari kelompok mahasiswa pro demokrasi dari berbagai kampus. Lirik yang awalnya merupakan coretan dari Dadang Juliantara, mengalami perubahan dan penambahan dari para aktivis masa itu. Sebutlah Budiman Sudjatmiko, Satya Nugroho, (almarhum) Andi Munajat dan Raharjo Waluyo Jati.

Saya sendiri, mendengar lagu itu pertama kalinya pada saat terlibat dalam aksi di Kampus UGM, untuk isu yang saya lupa. Lagu yang dinyanyikan untuk menutup aksi.

Sekitar dua tahun lalu, saat bertemu dengan John Tobing, ia tengah mempersiapkan album lagu, yang sempat diproduksi secara terbatas dengan melibatkan rekan-rekannya di Fakultas Filsafat UGM. Melalui album tersebut, untuk pertama kalinya saya mendengarkan lagu”Darah Juang” yang dinyanyikan oleh sang penciptanya sendiri. Lagu yang bisa dinikmati di Youtube setelah diunggah oleh Andi Arief.

Walaupun sempat mendengar selentingan John Tobing tengah mempersiapkan album lagu, saya baru teryakini setelah membaca pemberitaan mengenai konser musik album ”Romantika Revolusi” yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki pada Mei lalu.

Dokumentasi Foto Sigit Djatmiko diambil dari Flickr

Dokumentasi Foto Sigit Djatmiko diambil dari Flickr

Beberapa hari lalu, saat bertemu dengan Joko Utomo dan Yuli Nugroho di sebuah warung gudeg di Jalan Wates, selepas tengah malam, mereka berdua yang baru berkunjung ke rumah John Tobing di wilayah Wedomartani, menawarkan CD album ”Romantika Revolusi”. Tentu saja tawaran itu tidak bisa ditolak.

Pada dini hari selepas sahur, kudengarkan lagu-lagu John Tobing bersama istri. Aransemen akuistik, dengan irama lagu yang tidak meledak-ledak sebagaimana saat berlangsung aksi, John Tobing mampu membuat tusukan-tusukan lembut sekaligus tajam kepada perasaan kita. Barangkali pernah mengenal dan mendengar beberapa lagunya, turut mempengaruhi suasana hati dalam sunyi dini hari.

Sembilan lagu yang terhimpun dalam album tersebut. Berdasarkan pengantar yang dibuat oleh Wilson, lagu-lagu tersebut adalah pilihan dari John Tobing sendiri. Mengalunlah lagu-lagu: Doa, Hey, Jaga Saudara, Fajar Merah Esok Milikmu, Darah Juang, Marsinah, Musim Senja, Api Kesaksian, dan Istirahat.

Ketika mendengarkan lagu Darah Juang, dinyanyikan dengan irama seperti saat pertama kali mendengarnya, lagu hymne. Pelan, menyayat, membangkitkan semangat.

Pada saat mendengar lagu ”Fajar Merah Esok Milikmu” dengan lirik yang dibuat oleh Web Warrouw untuk anaknya Zet Kobar atau akrab dipanggil ”Obang”, saya teringat tentang liputan saat konser album ini yang dibuat oleh Lilik HS. Lilik HS, menggambarkan sikap dan perasaan dari Shanty dan Web Warrouw, pasangan yang telah berpisah, dan barangkali walau dengan jarak diingatkan kenangan terhadap lagu tersebut tatkala ”Obang” sudah beranjak dewasa.

”Itu lagu untuk ”Obang” dibuat oleh Web, kataku pada istriku yang tengah mendengarkan lagu tersebut. Berulang kali lagu itu diputar, dan terlihat mata kami turut berkaca-kaca. Apalagi pada lagu disisipi lirik yang tidak tercantum pada lembaran lirik lagu album.

Anakku sayang
Dengar lagu ayahmu ini
Berhentilah engkau menangis
Fajar merah esok milikmu

Salamku untuk ibumu
Ayah tetap menyayangnya
Peluk erat penuh cinta
Kecupkan hantar tidurnya

Istri saya sangat terhanyut, mengingat kedekatan dengan sosok-sosok itu, dan pada beberapa tahun lalu juga pernah mengirim foto saat menggendong Obang dengan disertai puisi. Setelah mendengar, ia-pun mengutip dan menjadikan status di FB-nya.

Lagu yang terhimpun, hanya sebagian kecil dari ratusan lagu-lagu yang pernah tercipta oleh John Tobing. Kolaborasi dengan rekan-rekannya sesama aktivis, terutama mahasiswa Filsafat atau di Keluarga Mahasiswa (KM) UGM, untuk menuliskan liriknya, menjadi bagian dari perjalanannya bermusik. Lagu-lagu perjuangan tentang penindasan yang menimpa rakyat kecil, dan semangat perlawanan yang terselip dalam lirik-liriknya.

Setiap lagu, ada sejarah yang menyertainya. Seperti lagu ”Doa” yang digubah untuk mengenang sahabatnya yang tewas pada peristiwa Santa Cruz, Timor-Timur pada tahun 1991. Atau lagu ”Marsinah”, tentang aktivis buruh yang tewas terbunuh karena kegiatan-kegiatannya menggalang aksi-aksi buruh yang terorganisir di Jawa Timur.

Menikmati lagu-lagu John Tobing, lelaki kelahiran Binjai (Sumatra Utara), 1 Desember 1965 dan alumni Fakultas Filsafat UGM angkatan 1986, pada saat sunyi seperti ini, sungguh menggugah perasaan dan nurani kita..

Yogyakarta, 31 Juli 2013, dan dikembangkan pada 1 Agustus 2013.

Tinggalkan komentar