2 Komentar

Menyapa Hilda tentang Sastra Instan di Kompasiana

Menyapa Hilda tentang Sastra Instan di Kompasiana
(Odi Shalahuddin)

Dini hari, mata saya terpaku pada postingan Hilda @hammer City (Ketika Produk Sastra Instan Membanjiri Kompasiana), yang sesaat kemudian langsung dimasukkan oleh admin ke highlight (bersama satu tulisan lain) melompati puluhan tulisan lain dengan rentang waktu dua jam setengah dari status highlight sebelumnya dan posisi highlight masih bertahan hingga tulisan ini diposting. Tentu admin menganggap bahwa postingan ini penting.

Persoalan yang dikemukakan Hilda sangat menarik untuk didiskusikan di Kompasiana, yaitu mengenai sastra instan. Menyimak apa yang disampaikan, saya menyampaikan salut dan penghormatan saya kepadanya yang memiliki keberanian untuk menyatakan situasi senyatanya di kompasiana. hal ini pula yang menggerakkan saya untuk  menyapa Hilda melalui tulisan.

Secara umum saya membedakan tulisan ini menjadi dua bagian. Pertama, tentang persoalan sastra instan itu sendiri, kedua, tentang karya fiksi (saya tidak menyebutnya sebagai karya sastra) di Kompasiana.

Sastra Instan di tengah pergolakan perjalanan sastra Indonesia

Sastra Instan yang dimaksud Hilda, mengutip dari pernyataan seorang penyair, Joko Pinurbo: “…. KetikaSastra tidak lagi dimasuki lewat pergulatan jalan sunyi yang penuh kesabaran, pergulatan kreatif yang merupakan sebuah jalan sunyi, ia akan menjadi sastra instan….”

Isu tentang sastra instan, saya kira bukan hal yang baru. Pada awal tahun 1990-an misalnya, telah muncul perdebatan mengenai sastra koran. Karya sastra telah dibatasi oleh jumlah halaman (terkait dengan kolom yang tersedia) dengan tema-tema aktual (di luar masalah sosial yang berhubungan dengan politik) yang membuat para pengarang tidak benar-benar bisa melepaskan ekspresinya secara mendalam. Proses kreatif pengarang untuk mengembangkan pembaruan-pembaruan karya baik dalam cara penulisan, penyampaian gagasan/ide maupun bentuk-bentuknya tidak lagi berkembang. Di tengah gugatan yang keras, perkembangan yang terjadi justru semakin mengukuhkan sastra koran sebagai arus baru yang tidak terbendung. Harian kompas, misalnya, dengan tradisi memberikan penghargaan terhadap cerpen-cerpen terpilih yang juga dipublikasikan dalam bentuk buku, menjadi kiblat baru bagi perkembangan sastra (koran) di Indonesia.

Lahir dan berkembangnya jejaring sosial, seperti friendster,disusul kemudian oleh facebook yang berhasil menarik jutaan orang Indonesia untuk larut di dalamnya, dan beberapa jejaring sosial lainnya yang hidup, membangun relasi dan komunikasi sesama anggotanya, telah berhasil  mendorong lahirnya komunitas-komunitas, termasuk penggemar sastra/fiksi.

Kompasiana, sebagai situs yang dimaksudkan sebagai media jurnalisme warga namun juga memiliki motto sharing and connecting, menyediakan rubrik fiksi, yang tampaknya di luar dugaan justru mendapatkan apresiasi besar, yang pada saat ini, bahkan tersedia kanal khusus untuk fiksi, yaitu Fiksiana.

Karya-karya yang terlahir dan berkembang di berbagai jejaring sosial dan berhimpun dalam komunitas-komunitas, kenyataannya memang telah melahirkan berbagai buku berisi karya yang merupakan himpunan dari yang terposting di jejaring sosial tersebut. Mereka tidak segan, misalnya untuk mencantumkan: Kumpulan Penyair Facebook.  Demikian pula para penulis fiksi di Kompasiana, yang secara bersama-sama telah menghimpunkan karya-karyanya ke dalam buku. Walau kita tidak menutup mata pula terhadap lahirnya karya-karya yang lebih serius dari berbagai situs sastra, yang disebut cybersastra.

Apa yang salah dengan sastra instan? Penilaian ini memang sangat tergantung dari kacamata apa kita memandangnya.

Sepanjang perjalanan sejarah sastra Indonesia, pertarungan-pertarungan selalu terjadi.  Pada periode Pujangga Lama dan Sastra Melayu Lama, karya sastra yang dominan seperti pantun, syair, gurindam dan hikayat, berorientasi istana sentris. Karya-karya di luar itu dianggap karya rendahan. Demikian pula pada masa Angkatan Balai Pustaka dengan hadirnya penerbit Balai Pustaka di tahun 1920, dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya  karya sastra yang disebut: Sastra Melayu Rendahan. Pada masa Pujangga Baru ada dua kubu, yaitu yang berpedoman pada ”Seni untuk Seni” dan ”Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang pada masa tahun 1950-1960-an juga terjadi pertentangan antara penganut ”Seni untuk Seni” yang berpaham sastra universal dan ”seni untuk rakyat” yang berfaham realisme sosial. Pertarungan-pertarungan yang terjadi, bila dicermati, tidak lepas dari pertarungan ideologi.

Pada tahun 1980-an, kehadiran dan berkembangnya sastra populer (seperti Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya), dianggap meresahkan dan merendahkan posisi sastra. Demikian pada periode selanjutnya sebagaimana telah disinggung di atas atas karya sastra koran, sastra cyber, dan sastra instan..

Pada berbagai periode, hal yang tidak boleh kita lupa, seseorang bisa diakui sebagai sastrawan setelah ada penasbihan-penasbihan. Bila seseorang telah disebut oleh HB Jassin, sebagai Paus Sastra Indonesia, misalnya, maka orang tersebut bisa berbangga menyebut dirinya sebagai sastrawan. Atau pada tahun 1970-an, seseorang bisa berani menyatakan dirinya sebagai sastrawan apabila karyanya telah termuat di majalah Horison. Di beberapa daerah misalnya di Yogyakarta, pada tahun 1969-1977 dikenal Persada Studi Klub, yang digawangi oleh Umbu Landu Paranggi yang dijuluki sebagai Presiden Malioboro. Dari PSK banyak berlahiran para sastrawan yang memiliki pengaruh di Indonesia. Pada tahun 1980-an, kalangan penyair di Yogyakarta, masih mengacu pada penasbihan oleh Emha Ainun Nadjib dan Linus Suryadi AG.

Pada awal tahun 1990-an, orientasi penasbihan yang dianggap berorientasi ke jakarta sebagai pusat, mendapatkan gugatan dengan kelahiran gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman, yang dipelopori oleh salah satunya Beno Siang Pamungkas. Gerakan ini melakukan berbagai aktivitas kesenian di berbagai kota kecil dengan cara swadaya. ”Semua tempat adalah pusat”, demikian yang digemakan.

Dunia memang telah berubah. Sekarang ruang untuk menyebarluaskan karya-karya sudah tidak terbatas lagi. Berbagai jejaring sosial,dapat diakses dengan mudah oleh siapapun, dan semua orang berhak memposting karya-karyanya. Klik, lalu tampil dan tersebar.  Semua orang juga tidak ragu-ragu lagi untuk menyebut dirinya sebagai penulis, pengarang, atau bahkan sastrawan.

Karya-karya Fiksi di Kompasiana

Rubrik Fiksi di Kompasiana yang kini ditempatkan pada kanal khusus ”Fiksiana”, tampaknya memang tidak dirancang sebagai ruang kawah candradimuka untuk menempa para (calon) penulis agar bisa menjadi sastrawan. Kanal ini juga tampaknya tidak dibangun dengan obsesi untuk melahirkan genre sastra tertentu, misalnya genre kompasiana.

Fiksiana adalah ruang bebas, sebagai tempat ekspresi ketika seorang kompasianer memposting tulisan, dan memilih rubrik fiksi atas tulisannya. Penekanan kepada sharing and connecting, yang melahirkan jaringan perkawanan dan sebagian membentuk komunitas-komunitas di dalamnya, menjadikan karya fiksi sebagai ajang untuk saling bersapa. Memang, tidak semua memperlakukan ruang ini secara demikian. Ada (calon) penulis yang memang bersungguh-sungguh belajar dan mengkreasi karya-karyanya agar dapat terus berkembang dan memiliki kualitas yang lebih baik. Sayang, untuk hal ini, tidak akan terjadi umpan balik yang serius.

Bila dikatakan karya fiksi di Kompasiana adalah sastra instan, dari kacamata penulis profesional atau para sastrawan, saya kira itu ada benarnya. Tapi persoalannya para penulis fiksi di Kompasiana, saya yakin sebagian besar memang tidak berobsesi menjadi penulis atau menjadi sastrawan.

Bila menilik pada kacamata lain, misalnya mengenai keterasingan karya sastra yang seakan berjarak dengan publik, maka Fiksiana menjadi salah satu tempat yang efektif bagi orang untuk mulai mengenali karya-karya fiksi, terlibat menciptakan karya, dan mendekatkan diri untuk mengetahui lebih dalam tentang karya-karya yang dianggap sebagai karya sastra.

Meningkatkan Karya Fiksi di Kompasiana

Ruang kosong yang ada di Fiksiana adalah kompasianer yang mau (dan mampu) memberikan apresiasi atau kritik atas karya-karya yang lahir di Kompasiana. Admin Kompasiana, dalam hal ini, saya ragukan mampu menjadi pihak yang mampu mengapresiasi karya secara baik, misalnya dengan pemilihan atas karya untuk ditempatkan di headline atau terekomendasi.Admin Kompasiana tampaknya masih berkutat pada pendekatan jurnalistik dengan mengedepankan aktualitas sebuah karya, dalam artian karya-karya yang merespon situasi aktual yang layak berita, menjadi pertimbangan utama untuk dipilih sebagai headline. Mohon diyakinkan dan dijelaskan bila penilaian saya salah.

Memang beberapa waktu lalu, ada kompasianer yang mencoba untuk memberikan apresiasi atau kritik atas karya, tapi seringkali tidak berlanjut. Pilihan atas karya-pun bukan didasarkan atas pilihan dari seleksi karya yang hadir.

Insan Purnama, saya kira salah satu kompasianer (atau bahkan satu-satunya), yang pada beberapa postingan terakhir, mulai meriviu karya-karya yang ada dengan pendekatan pengetahuan tentang kritik sastra yang memadai. Apabila berlahiran orang-orang semacam Insan Purnama untuk meluangkan waktu membedah karya-karya di Fiksiana, bukanlah tidak mungkin akan melahirkan semangat bagi para kompasianer untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas tulisannya. Walau kita tetap tidak mengenyampingkan kompasianer yang menulis karya fiksi sebagai ruang ekspresi untuk menyapa dan bercanda dengan sesama kompasianer.

Lantas ?

Kita harus secara dewasa menerima kritikan dari Hilda yang saya yakin didasarkan pada kecintaan untuk meningkatkan karya-karya fiksi di Kompasiana agar mampu menjadi karya sastra yang bisa berbicara dalam dunia sastra di Indonesia. Ini bukan suatu mimpi sekedar mimpi, tapi bisa diwujudkan. Saya kira, kita bisa melakukannya.

Lantas, yang tidak ingin menjadi penulis serius atau tidak berobsesi menjadi sastrawan? Kanal fiksiana tetap terbuka bagi siapapun, selama Kompasiana mempertahankan rubrik itu bukan? Jadi tidak ada yang salah dan patut dipersalahkan dalam hal ini.

Salam hangat selalu dalam karya…

Yogya, 5 November 2011

__________________________

Posting di Kompasiana, klik di SINI

2 comments on “Menyapa Hilda tentang Sastra Instan di Kompasiana

  1. kemerdekaan berekspresi dijaman digital sepertinya menumbuhkan jamur di musim penghujan yang tiada henti…

Tinggalkan komentar