3 Komentar

Memerangi Prostitusi Anak(2) : Anak adalah Korban

Memerangi Prostitusi Anak(2) :

Anak adalah Korban

Poster Kampanye Yayasan Setara Semarang menentang eksploitasi seksual terhadap anak

Prostitusi anak, memang bukan hanya persoalan diIndonesia, melainkan telah menjadi persoalan bersama di tingkat global. Hal ini mengingat bahwa prostitusi anak sering terkait erat dengan pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual dengan persoalan yang telah melewati batas-batas Negara.

Pada masa lalu, kita mengenal Philipina danThailandsebagai surga para pedofil. Banyak anak dijerumuskan ke prostitusi dan menjadi korban para pelancong dari luar negeri, yang disebut pula sebagai pariwisata seks.

Farid (1999) dalam analisis situasinya mengungkapkan proyeksi bahwaIndonesiaakan menjadi tujuan alternatif wisatawan seks dan lingkaran pedofil internasional. Sedikitnya, diungkapkan oleh Farid, tentang tiga alasan yang mendukung proyeksi tersebut. Pertama, penyebaran prevalensi HIV/AIDS di daerah tujuan wisatawan anak sebelumnya sepertiThailanddan Philipina telah membuat wisatawan seks anak mencari tujuan baru yang lebih aman. Kedua, meningkatnya kesadaran LSM dan bagian lain dalam masyarakat madani di Negara-negara tersebut telah dengan sukses menekan pemerintah mereka untuk mengambil sikap yang lebih tegas terhadap para wisatawan seks anak. Ketiga – seiring dengan pengembangan pariwisata diIndonesiayang ditargetkan menjadi penghasil devisa yang besar bagiIndonesia– iklim kita bernada selamat datang bagi semua wisawatan, termasuk para pelaku eksploitasi anak secara seksual.

Proyeksi tersebut, walau belum tersedia data dan informasi yang memadai, tampaknya juga telah terbukti dengan terungkapnya berbagai kasus eksploitasi seksual terhadap anak di daerah-daerah wisata seperti Bali danLombok.

ECPAT, satu organisasi jaringan global yang aktif melakukan kampanye menentang pariwisata seks, berhasil menginisasi satu pertemuan besar yang melibatkan delegasi resmi Negara dan organisasi masyarakat sipil. Bersama UNICEF dan Pemerintah Swedia, pada tahun 1996 dilangsungkan Kongres Dunia Pertama Menentang Eksploitasi Seksual Komersial terhadap Anak.

Kongres berlangsung diStockholm, Swedia, dan agenda aksi yang dihasilkan sering pula disebut sebagai agendaStockholm. Deklarasi dan agenda aksi yang dihasilkan diadopsi oleh 122 negara, dan pada tahun 2006 sudah diadopsi oleh 161 Negara.

Pada kongres tersebut, ESKA diidentifikasikan ke dalam tiga bentuk, yaitu prostitusi anak, pornografi anak dan perdagangan anak untuk tujuan seksual.

Setelah kongres dunia pertama ini, ECPAT berganti nama dengan singkatan yang tetap. Sebelumnya, ECPAT adalah kependekan dari End Child Prostitution in Asian Tourism berubah menjadi End Child Prostitution, Child Pornography and trafficking of Children for Sexual Purpose

Perkembangan kemudian, ECPAT menambahkan bentuk ESKA dari tiga bentuk menjadilimabentuk dengan tambahan yaitu pariwisata seks dan pernikahan dini.

Kongres Dunia telah menjadi tonggak bagi gerakan bersama di tingkat global untuk memerangi ESKA. Perspektif yang mengemuka sebagai bagian dari semangat yang lahir adalah menempatkan posisi anak sebagai korban, bukan sebagai pelaku kriminal.

Persoalan yang penting dalam hal ini, adalah mengenai batas kematangan seksual anak (age of consent). Konvensi Hak Anak telah memberikan definisi mengenai anak yaitu seseorang yang belum berumur 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-undang nasional yang berlaku bagi anak ditentukan batas usia dewasa dicapai lebih awal.

Banyak Negara telah mengadopsi batasan umur tersebut di dalam peraturan perundangan mereka, termasuk diIndonesia. Hanya saja, mengenai batas kematangan seksual, di Indonesia masih terdapat perbedaan. Ini misalnya mengacu kepada KUHP yang memberi ancaman hukuman kepada siapapun yang melakukan hubungan seksual dengan seorang anak yang belum berumur 12 tahun, dan Undang-undang Perkawinan yang memberikan persetujuan seseorang boleh menikah pada umur 16 tahun bagi Perempuan dan 19 tahun bagi lelaki.

Para aktivis hak anak, tetap menggunakan dasar KHA, yaitu di bawah 18 tahun sebagai anak-anak, walau secara legal, pada saat terjadi kasus hal ini bisa menimbulkan persoalan pula.

Sebagai perwujudan dari perspektif anak sebagai korban, para aktivis hak anak menggunakan istilah “anak-anak yang dilacurkan”  (aktivis anak di Indonesia sering menyingkat dan menggunakan istilah AYLA) dan menghindarkan penggunaan istilah “pelacur anak”. Istilah “pelacuran anak” digunakan terbatas untuk menggambarkan situasinya.

 Yogyakarta, 23 April 2012

Tulisan terkait:

  • Memerangi Prostitusi Anak(1) : Catatan Pembuka – Klik di SINI
  • Memerangi Prostitusi Anak (3): Bukan Hanya Karena Miskin – Klik di SINI

3 comments on “Memerangi Prostitusi Anak(2) : Anak adalah Korban

  1. Perang terhadap prostitusi anak mesti terus dilakukan dengan berbagai pendekatan. Anak-anak yang dilacurkan bukan hanya sebatas dampak dari berkembangnya pariwisata atau dampak lingkungan yang tidak kondusif, ataupun pendidikan yg salah namun juga karena faktor kemiskinan. Gimana mas…

    • Kemiskinan menjadi faktor kunci, walau juga tidak bisa dijustifikasi sebagai satu-satunya faktor. Pada situasi sekarang, banyak anak dijerumuskan ke prostitusi bukan lantaran kemiskinan, ada faktor-faktor penarik seperti berkembangnya jaringan pedofil, peraturan perundangan yang belum memadai untuk menjerat pelaku eksploitasi seksual, dan sebagainya.

      Ah, makasih kunjungan dan responnya Bang Noer.. Salam hangat selalu, tak berkurang semangat, walau matahari teramat terik… he.h.eh.e.h.e

  2. mmprhtkan mmg skrg ksus pnjualn ank untk kgtn prttusi trs mngkt, sbg msyrkt kta ptut lbh wspda.

Tinggalkan komentar