1 Komentar

Perjalanan Malam: Kenangan Bersama Anak Jalanan Semarang #1

Anjal di salah satu sudut Kota Semarang

Oleh  :  Odi Shalahuddin

Cuaca memang sulit ditebak pada masa sekarang ini. Cuaca baik bisa berubah gelap gulita dengan awan hitam yang tiba-tiba menyergap. Namun awan hitam belum tentu sebagai pertanda hujan. Di tengah benderang, bisa terjadi hujan sangat deras.

Irama memang sudah berubah. Sulit mencari pertanda. Seingatku waktu kecil dulu, ada alur yang hampir pasti guna mengetahui hujan akan datang pada saat siang, misalnya. Langit yang terhiasi awan hitam berarak. Mendung. Rintik-rintik air menyirami. Gerimis. Menderas. Semakin deras. Perlahan berkurang. Akan terdengar irama tetesan sisa hujan yang seringkali melahirkan imajinasi dan menjadi karya fiksi. Terang perlahan. Ah, masa-masa seperti itu kini sekedar menjadi dongengan belaka. Anak-anak kita bila diberitahu pastilah tak percaya. Pengalaman sehari-hari tidak seperti itu.

Semalam,  sekitar pukul setengah sepuluh, bersama dua orang kawan, saya meminta mereka untuk mengajak berputar-putar kota Semarang. Sudah lama tak menyaksikan kehidupan malam. Apalagi menikmatinya. Seusai menjenguk bayi seorang kawan di sekitar Menoreh, dengan dua motor kami mengarah ke RS Karyadi, berbelok kiri menuju Taman Tugu Muda. Jalan masih terlihat basah, sisa hujan deras beberapa waktu lalu. Kami menyisir seperempat putaran Taman itu  menuju Barat Laut. Jalan Imam Bonjol.

Di Perempatan, terhadang lampu merah. Hujan deras tiba-tiba datang. Agak kalut juga. Tidak membawa mantel, sedang di dalam tas ada laptop. Beruntung merah berganti hijau, segera kami melaju, ke pojok jalan, masuk ke dalam halaman pertokoan. Dua motor melakukan hal yang sama dengan kami.

Di emperan toko, ada empat orang. Satu orang setengah baya tampak terlelap tidur beralaskan kardus-kardus. Di sebelahnya Ada tiga anak, satu laki-laki dan dua perempuan yang tengah duduk beralaskan kardus yang mungkin nanti menjadi alas tidur mereka pula. Ketiganya asyik menikmati kepulan rokok di malam yang memang dingin dengan air tumpah ruah berpesta terjun dari langit.

Seorang kawan, dulu pernah bertahun menjadi anak jalanan, kini menjadi pendamping anak jalanan di sebuah Yayasan, menyapa dan bersalaman dengan ketiganya. Penampilan mereka tampak bersih. Dua perempuan berwajah manis, dan laki-lakinya terlihat ganteng. Aku hanya menganggukan kepala yang terjawab dengan tindakan yang sama.

“Anaknya Kusrini,” bisik kawanku.

“Yang mana?”

“Yang hidungnya di tindik,”

Aku memandang anak perempuan yang dimaksud. Kukira umurnya sekitar 12 tahunan. Berkulit hitam manis. Baju lengan panjang kotak-kotak berwarna biru tua yang  dikenakannya, malah membuatnya terlihat gelap. Menghisap rokok, mengeluarkan asapnya, mata memandang seakan hendak mengikuti kemana sirnanya sang asap.

Dulu Aku kenal baik dengan ibunya, pada usia yang hampir sama dengan anak perempuan ini. Sejak kecil sudah diajak Ibunya mengemis keliling kampung. Umur lima tahun mengemis di perempatan jalan. Umur delapan tahun, kabur dari ibunya, dan tinggal di los-los Pasar Johar. Pada tahun 1996 pertama kali aku bertemu ibunya. Mengikuti kegiatan yang dilakukan oleh seorang kawan di halte bus depan Hotel Dibya Puri, Pasar Johar.

Ibunya buta huruf, tidak pernah bersekolah. Belajar membaca, tidak tuntas ia mengikutinya. Orangnya pendiam, tidak banyak bicara. Tapi bila ada pembicaraan diantara kawan-kawannya, pandangan matanya terlihat mendengarkan dengan seksama. Ia hanya memberi komentar-komentar pendek.

Pada tahun 2000-an, aku jarang bertemu dengannya. Kudengar dari seorang kawan, ia telah melahirkan seorang anak. Anaknya dimana dan siapa bapaknya, entahlah. Lalu kudengar lagi ia sudah memiliki pasangan tetap. Sekali aku bertemu dengannya, di dekat perempatan Jalan Pandanaran, tengah mengemis, dan terlihat sedang hamil tua. Kuduga inilah anak keduanya.

“Anaknya di mana, Ibunya entah di mana, Bapaknya juga gak tahu lagi,” komentar kawanku setengah berbisik padaku.

“Lah, Kusrini sekarang?”

“ya, enggak tahu, pindah-pindah terus. Anaknya juga pindah-pindah. Tidak menetap di emperan toko ini,”

Hujan mereda. Kami belum beranjak. Benarlah keputusan ini. Tak ada lima menit, hujan menderas kembali. Lebih deras dari sebelumnya.

Terpancar dalam benak, berbagai kenangan bersama anak-anak jalanan Semarang. Ketika aku membantu seorang kawan yang menjadi pelopor di kota ini untuk memberikan perhatian terhadap anak jalanan.

Winarso, itulah nama kawanku. Ia telah merintis mendampingi anak jalanan sejak akhir tahun 1993. Kebetulan aku mengikuti proses kegiatannya sejak awal. Setidaknya sebagai salah satu kawan diskusinya bila ke Yogya. Pada tahun 1996, barulah aku bergabung. Membantu dia, tinggal di Semarang bersama anak-anak jalanan dan membuat berbagai kegiatan.

Kami memusatkan kegiatan di sepanjang jalan Pemuda. Dari Pasar Johar hingga Taman Tugu Muda.   Kegiatan dilakukan di halte bus depan hotel Dibya Puri, di halte Lawang Sewu, di los pasar Johar, dan di dalam Taman  Tugu Muda sendiri.

Ketika mendapatkan dukungan dana, bersama anak-anak kami mencari tempat yang bisa dijadikan sebagai tempat tinggal bersama. Akhinry a rumah  bisa didapatkan di Jln. Lemah Gempal. Kami mulai menempati rumah itu tanpa ada barang apapun. Pertama kali tidur di sana, kami mencari kardus-kardus sebagai alas tidur.

Beruntung, kami mendapatkan sumbangan kayu-kayu dan papan yang cukup banyak dari sebuah Yayasan di Semarang. Dari kayu ini, bersama anak-anak kami membuat dipan, membuat loker, rak buku, meja, dan sebagainya. Pribadi-pribadi juga banyak yang menyumbang seperti peralatan masak, bahan-bahan makanan, buku-buku dan sebagainya. Akhirnya rumah bukan hanya kumpulan orang-orang yang bisa tidur di sembarang tempat. Tapi sudah mulai tertata pula.  Oh, ya, waktu itu, anak-anak menamakan kelompoknya “SEPATUMU” kependekan dari Serikat Pengamen Tugu Muda. Perkembangannya nama ini diprotes, karena yang bergabung dan berkegiatan bersama bukan hanya anak-anak Taman Tugu Muda saja, melainkan juga anak-anak dari berbagai lokasi di Semarang. Dalam pertemuan yang memang rutin dilakukan setiap seminggu sekali, akhirnya nama dirubah menjadi PAJS atau Paguyuban Anak Jalanan Semarang. Dua ratusan lebih anak jalanan tercatat sebagai anggotanya.

Namun, yang tidur di rumah ini hanya anak-anak yang berasal dari luar kota yang biasa tidur di sembarang tempat. Itupun, masih banyak yang menolak dan memilih tidur di Taman Tugu Muda. Perlu pendekatan terus menerus sehingga satu persatu mulai mau tinggal di rumah.

Namanya tinggal di rumah, apalagi di dalam kampung, dihuni oleh anak jalanan lagi. Tentulah banyak persoalan dengan tetangga. Tidak melakukan apapun sudah menjadi gunjingan, apalagi bila melihat  tindakan dan kelakuan yang dianggap tidak berkenan. Wah.

Persoalan-persoalan inilah yang sering kami diskusikan bersama anak-anak. Berbagai aturan lahir dari proses diskusi. Mulai dari cara berjalan tidak menggesekkan alas dengan aspal, dilarang untuk bertelanjang dada ketika menyusuri jalan kampung, menghentikan kegiatan gaduh selepas jam 11 malam, dan sebagainya. Khusus untuk pulang, dibatasi jam 12. Bila malam minggu bisa sampai jam satu. Lewat dari jam tersebut, maka pintu akan dikunci. Siapapun yang membukakan pintu, akan kena hukuman juga. Hukumannya adalah mengambil alih seluruh pekerjaan yang terkena piket, dan membersihkan kamar mandi.

Aku dan Winarso secara sengaja melakukan pelanggaran. Kami  pulang lewat jam 12 malam. Pintu dibukakan. Esoknya ada bisik-bisik di belakang. Kami meminta semua berkumpul. Kami akui bahwa kami bersalah dan akan menjalankan hukuman yang telah disepakati. Maka kami memasak air, membuatkan minuman untuk seluruh penghuni, mencuci gelas-gelas, menyapu dan mengepel lantai serta membersihkan kamar mandi.

 

1 comments on “Perjalanan Malam: Kenangan Bersama Anak Jalanan Semarang #1

  1. Halo Mas Odi, terima kasih sharingnya, aku malah nggak tahu kalau Mas Odi ikut membantu lahirnya PAJS. Tetap semangat ya Mas!

Tinggalkan komentar