Tinggalkan komentar

(cerpen) Ziarah

Cerpen:  Odi Shalahuddin

Turun dari sebuah bus di terminal terakhir, lelaki itu menjejakkan kakinya dengan tubuh gemetar. Seluruh tubuhnya terasa lemas, ringan dan serasa terbang. Tanpa menghiraukan keramaian, ia bersujud, menciumi aspal terminal tiga  kali. Dibantu  oleh istrinya ia perlahan bangkit. Wajahnya telah dibasahi air  mata yang mengalir tak tertahankan. Lelaki itu berjalan dengan langkah teratur.  Pelan. Seakan tiap langkah penuh makna. Matanya liar berkeliling mencermati sekitarnya.

Di pintu keluar, lelaki itu berhenti sejenak, menengadahkan kepala dan menghirup dalam udara yang berkeliaran. Lelaki itu lalu berteriak lantang. Suaranya menggema di antara  suara-suara mesin kendaraan dan teriakan-teriakan kondektur, tukang  becak, sopir taksi, tukang ojek yang mencari penumpang. Orang-orang berhenti, mengamati lelaki itu lalu bergerak kembali tak perduli. Lelaki itu terisak, sang istri memeluknya erat.

Mereka kemudian mencari penginapan di sekitar terminal. Sebuah penginapan sederhana. Namun kelihatan teduh.

“Istirahatlah dulu, Mas,” kata istrinya lembut kepada lelaki itu yang tercenung di pinggir ranjang. Secara perlahan lelaki itu ia baringkan, kemudian ia membelai-belai rambut lelaki itu.

Dilihatnya lelaki itu telah memejamkan mata. Nafasnya tidak teratur. Istrinya lalu turut berbaring di sisi lelaki itu dan tangannya memeluk. Perjalanan panjang yang teramat melelahkan membuatnya cepat tertidur. Dan lelaki itu, meski berusaha memejamkan mata, pikirannya terus mengembara, berjuta bayang menari-nari di kepalanya.

“Aku kembali! Aku kembali!” teriak hatinya.

Tiba-tiba bau mayat menyeruak masuk ke dalam hidungnya.

“Tidak! Tidak! Tidaaak…!” lelaki itu  menjerit. Istrinya terbangun.

“Ada apa, Mas?” katanya sambil bangkit.

Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Tidak ada apa-apa, tidak ada apa-apa,” katanya dengan nafas terburu. Wajahnya kelihatan pucat. Keringat membasahi keningnya. Istrinya mengeluarkan sapu tangan dan menghapus keringatnya. Ia berdiri, mengambil  botol berisi air mineral dan menuangkannya  dalam  gelas. Lalu membimbing suaminya untuk minum.

Lelaki itu duduk di pinggir ranjang. Tatapan matanya terasa kosong. Ia meminta kepada istrinya untuk mengambilkan rokok di meja. Diambilnya sebatang, dinyalakan, dihirupnya dalam, dikeluarkan dengan tergesa. Gumpalan asap bermain dalam ruang.

“Mereka memanggilku. Mereka memanggilku sambil melambai-lambaikan tangannya. Mereka menjerit, badai datang, masih kulihat mereka melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Sampai badai menerkamnya dan menghilangkan wajah-wajah mereka,” kata-kata lelaki itu dengan suara berat, “Aku teramat berdosa. Aku tak pernah menghiraukan mereka! Terkutuklah aku! Terkutuk…!” Lelaki itu memukul-mukul kepalanya sendiri. Istrinya cepat menyambar tangan lelaki itu.

“Sudahlah, Mas. Mas Tidak bersalah. Besok pagi kita ke  sana, ya?”

“empat puluh tahun,” lirih lelaki itu.

Di kepalanya muncul kenangan. Kenangan pahit yang terus membekas di hatinya. Meskipun berkali coba dilupakan, kenangan itu  seakan telah melekat dalam dirinya. Luka. Perih. Dan terus membututi perjalanan hidupnya.

Empat puluh tahun sudah ia tinggalkan tanah kelahirannya. Dan kini ia kembali. Menyambut luka yang tersisa. Ia berharap tiada lagi ada siksa. Ia berharap hatinya mampu untuk menerima. Inilah kehidupan. Inilah garis hidupnya.

Sekarang ia tak mampu mengelak lagi. Seperti hari-hari  yang lalu, ia tak mempunyai daya untuk mengibaskan gambaran di kepalanya.

Masih tergambar jelas, waktu itu, usianya  hampir  menginjak tiga belas tahun. Ia tengah menggembala lima ekor kambing keluarganya di tanah lapang di sebrang bukit. Langit mendung. Ia bergegas pulang. Kibasan angin menghantarkan awan hitam dengan cepat. Kilatan-kilatan cahaya di langit. Hujan turun. Deras sekali. Ia cepat menarik kambing-kambingnya mencari tempat berteduh. Ditemukan  sebuah pohon besar dengan lubang di bawahnya. Ia  berhimpit-himpitan dengan lima ekor kambing-nya. Suara angin  kencang, petir  menyambar-nyambar. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh.  Ia sangat ketakutan, memeluki kambingnya. Suara gemuruh berhenti.

Hujan mulai mereda. Ia memberanikan diri untuk keluar. Ia menarik kambing-kambingnya dan tidak menghiraukan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.

Mendekati kampungnya, terdengar suara jeritan, tangisan dan teriakan. Ada rasa gelisah di hatinya. Ia  mempercepat langkah untuk mengetahui apa yang terjadi. Matanya terbelalak tatkala ia melihat kampungnya tak tampak lagi. Sisi-sisi bukit yang mengelilingi kampungnya telah runtuh dan mengubur seisi kampung. Ia tak menghiraukan kambing-kambingnya lagi. Ia menjerit-jerit sambil berlari ke arah kampungnya. Tiba-tiba terasa ada tangan mencekal kuat dan menariknya. Ia terjatuh.

“Jangan mendekat, masih terlalu berbahaya!”

Benar. Runtuhan-runtuhan kecil masih saja terjadi. Iapun menangis memanggili nama-nama keluarganya.

Orang-orang dari kampung-kampung tetangga berdatangan. Belum ada  satu orangpun yang berani mendekat. Setelah  dirasa  sudah aman, barulah orang-orang mendekat dan segera berusaha memberikan pertolongan. Lelaki kecil itu ikut bersama orang-orang  menyingkirkan kayu-kayu dari pohon tumbang dan menggali tanah. Tangisnya tak henti.

Satu persatu ditemukan  orang-orang  yang  sudah  tak  bernyawa. Lelaki kecil itu meraung-raung dan  terus  meraung-raung setelah  satu persatu anggota keluarganya  berhasil  dikeluarkan dari  timbunan. Wajah bapak, ibu, kakak-kakaknya, adik-adiknya, kakek, nenek, paman, bibi, dan rasa-rasanya  seluruh  keluarga besarnya  yang tinggal di kampung itu telah meninggalkannya. Ia sebatang kara!

Sejak  kejadian  itu, ia ditampung dan hidup di  rumah  bapak lurah. Setiap saat ia selalu terkenang. Ia terus menangis sepanjang waktu.

Suatu hari diambilnya keputusan. Ia harus pergi. Pergi jauh meninggalkan desa  ini. Dan tak kan pernah kembali. Ia harus menghapus luka itu. Ia harus hidup.

Empat puluh tahun sudah. Ia mengarungi hidupnya setapak  demi setapak, kenangan itu terus memburunya. Semangat untuk  melupakan kenangan pahit, menumbuhkan rangsangan untuk giat menyibukkan diri  dalam kerja-kerja. Namun kenangan itu  tak terhapuskan. Justru setiap helaan nafasnya terus diburu  bayang-bayang. Saat terakhir ia memutuskan untuk berziarah.

Malam dilalui tidak dengan ketenangan. Beberapa kali lelaki itu berteriak-teriak dalam tidurnya. Sang istripun berjaga-jaga sampai pagi. Terus berusaha menentramkan.

Keesokan paginya, mereka menyewa sebuah taksi gelap  melalui penjaga penginapan. Lelaki itu menyebutkan nama tempat. Kening sopir taksi berkerut.

“Apa Bapak tidak salah menyebutkannya?”

Lelaki itu mengulangi lagi.

“Saya hafal seluruh pelosok kabupaten ini.Tapi nama yang Bapak sebutkan, baru kali ini saya dengar.”

Lelaki itu menyebutkan nama tempatnya secara lengkap.

“Oh kalau kecamatan itu saya tahu,”

Dalam perjalanan,lelaki itu minta berhenti di sebuah pasar. Ia menyuruh istrinya untuk mencari bunga.

“Kami mau ziarah,” jawab lelaki itu kepada sopir taksi yang menanyakan keperluannya.

Sopir taksi  itu mengernyitkan keningnya. “Tamu ini  aneh,” desisnya.

Lelaki  itu  merasa asing dengan  jalan-jalan  yang  dilalui. Matanya berusaha meneliti dan pikirannya  mengingat-ingat. Luar biasa perubahan yang terjadi. Sama sekali tak ada yang  diingatnya.

“Kita sudah memasuki kecamatan,” kata sopir taksi.

Lelaki itu terperanjat.

“Kita tidak melewati hutan?”

Sopir taksi tersenyum.

“Hutannya sudah ganti pusat pertokoan, Pak,” katanya, “Sekarang kita kemana?”

Lelaki itu diam tercenung. Ia sama sekali tidak mengenal tanah kelahirannya lagi. Jalan-jalan sudah berubah. Rumah-rumah telah banyak berdiri.

“Putari saja kecamatan ini,”

Sepanjang perjalanan, mata lelaki itu terus menari. Ia mencari tanda yang bisa mengingatkan. Mereka melewati daerah industri. Tiba-tiba lelaki itu memandang sebuah pohon beringin.

“Berhenti! Berhenti!”

Ia keluar dari mobil, memperhatikan dengan seksama pohon beringin itu. Ada tanda-tanda khusus yang ia kenali. “Tidak salah lagi. Di sinilah aku selalu bersandar sepulang dari  pemakaman,”

Ia melihat ke sebrang jalan. Bukan lagi tanah pemakaman. Tapi sebuah pabrik. Ia memandang lekat ke sana. Pedih rasanya. Ia memejamkan mata, berusaha menguasai dirinya.

“Turunlah,” ajakan kepada istrinya. Istrinya bingung. Tapi ia tak bertanya. Ia mengikuti ajakan suaminya. Mereka  menyebrang jalan. Mendekati pos penjagaan. Suaminya  berbincang-bincang dengan beberapa penjaga di situ. Akhirnya terlihat ia mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang yang ia berikan kepada penjaga itu.

“Disinilah dulu makam keluargaku. Sekarang entah dimana. Ziarah kita cukuplah di sini,” katanya setengah berbisik  kepada istrinya.

Mereka  memasuki halaman pabrik. Lelaki itu bersimpuh. Diam. Menangis. Lalu berdoa. Ia mengambil bunga yang dibawa istrinya.

“Mari kita taburkan bunga ini. Mereka pasti tahu, bahwa aku sama sekali tak pernah melupakan mereka,”

Tatapan mata orang-orang yang mengawasi dengan perasaan aneh. Suara mesin pabrik yang samar terdengar. Bunga-bunga bertaburan.

Yogyakarta, 1993.

Tinggalkan komentar