Tinggalkan komentar

Ketika Perceraian Adam-Hawa Simon Hate Dibacakan

Simon Hate

Perceraian Adam & Hawa, demikian judul buku antologi Puisi Simon Hate yang diterbitkan oleh Dapoer Seni Djogja, yang dibacakan oleh para seniman Yogyakarta di Pusat Kebudayaan Indonesia – Belanda Karta Pustaka pada tanggal 2 Desember 2011.

Simon Hate?  Mungkin engkau bertanya-tanya tentang nama itu. Bisa jadi pula keningmu berkernyit  mencoba mengingat-ngingat nama seorang seniman utamanya penyair yang pernah hadir dalam perhelatan sastra atau namanya tertera dalam lembaran rubrik media masa. Jangan terlalu khawatir bila engkau tak mampu mengingat atau merasa sangat yakin nama itu tidak ada. Memang, Simon Hate telah lama tidak bergumul lagi dalam segala hiruk-pikuk kesenian di Yogyakarta, walau sesekali ia ditodong pula untuk menyaksikan sebuah pertunjukan. Sehari-harinya, Ia lebih banyak aktif dalam gerakan bersama para petani di berbagai wilayah Indonesia.

Kehadiran Simon Hate dalam jagad kecil kesenian bisa dikatakan mulai muncul pada era akhir 1970-1980-an. Akibat pergaulannya dengan Emha Ainun Nadjib, Halim HD dan Ashadi Siregar, iapun mulai terlibat menulis puisi sejak tahun 1976. Ia  juga aktif di Teater Dinasti, salah satu kelompok teater terkemuka di Yogyakarta paska Bengkel Teater. Pernah membuat naskah pertunjukan bersama rekan-rekannya seperti Emha Ainun Nadjib, Fajar Soeharno, Agus Istijanto, dan sebagainya.

Tersebutlah Isti Nugroho, Agus Istianto, Joko Kamto, Eko Winardi, Bambang Susiawan, Halim HD, Titik Rengganis, dan Naomi Srikandi, tampil bergantian  membacakan puisi-puisi Simon Hate yang ada dalam antologi “Perceraian Adam-Hawa”. Acara yang dipandu oleh Angger Jati Wijaya ini juga menampilkan performance Dramatic Reading ”Upacara di Gerbang Kota” karya Indro Tranggono yang diadaptasi dari Puisi Simon Hate yang dibacakan oleh Eko Winardi, Novi Budianto dan Joko Kamto.

Fajar Suharno dan Landung Simatupang berhalangan hadir. Demikian pula dengan Emha Ainun Nadjib yang semula akan memberikan kesaksian atas kepanyairan Simon Hate berhalangan hadir, namun ia sempat memberikan kesaksian dalam rekaman film yang ditayangkan melalui layar lebar di atas panggung.

Tampak hadir dalam acara pembacaan puisi ini, Yuni Satia Rahayu (Wakil Bupati Sleman) para seniman dan pengamat budaya dari Yogyakarta dan sekitarnya seperti Fauzie Rizal,  Faruk HT, Wadie Maharief, Genthong HSA, Sri Harjanto Sahid, Mustofa W. Hasyim, Hamdi Salad, Kris Budiman, Hairus Salim, Sigit Sugito, Fani  dan tampak pula para aktivis Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang akrab atau setidaknya mengenal Simon Hate, seperti Amir Sutoko, “Mbah” Hadi Wahono, Harry “Begi”, dan Joko Utomo.

Pembacaan puisi pertama oleh Isti Nugroho, yang disusul oleh Agus Istijanto yang membacakan puisi yang menjadi judul buku Simon Hate.

Cak Nun dalam video yang ditayangkan panitia

”Simon, tidak punya kebutuhan untuk dihormati, bahkan dia tidak punya kebutuhan untuk diakui.  Jangankan sebagai penyair, sebagai Simon sendiri saja dia tidak harus diakui. Maka dia tidak pernah memperjuangkan diri, tidak pernah menonjol-nonjolkan diri, bahkan dia tidak ber-karier di bidang kepenyairan. Karena dia sangat curiga terhadap kata ”karier” sejak mudanya waktu dia masih sebagai mahasiswa Fakultas Filsafat UGM sebagai yuniornya Halim HD” demikian kesaksian Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, si Kyai Mbeling dalam rekaman film yang ditampilkan.

Ditambahkan oleh Cak Nun: kalau kita sekarang  mendengar puisi-puisi Simon, itu bukan puisi-puisi dari orang yang punya ambisi atau mencari eksistensi sebagai penyair. Sekarang kita mendengarkan puisi Simon adalah puisi-puisi yang benar-benar murni  merupakan hasil perundingan naluriah dia dengan Tuhan. Dia dengan Tuhan dalam kalbunya yang sangat sunyi, sangat remang-remang, dan tidak seorangpun atau satu makhluk-pun tahu.”

Di kalimat penutupnya, Cak Nun menyatakan: I Love you Simon. Dan saya kira semua mencintai Simon karena dia lulus dari segala gegap gempita yang sama sekali tidak sanggup mengkontaminasi sosok seorang bernama Simon Hasiloan Tambunan,”

Bagi orang-orang yang mengenal Simon Hate, kesaksian dari Cak Nun bukanlah hal yang melebih-lebihkan. Memang begitulah adanya. Simon yang selalu hadir dalam ketidak-pedulian terhadap dirinya sendiri, namun senantiasa terbuka sebagai kawan bicara dan diskusi yang hangat serta sering memberikan inspirasi tak terduga, baik dalam kesenian ataupun dalam gerakan sosial.

Lalu bergiliran para aktor Yogya ini membacakan puisi-puisi Simon. ”Lelaki Siang dan Malam” oleh Joko Kamto yang kini aktif di Kyai Kanjeng, Bambang Susiawan membacakan ”Kabar Perjalanan”, ”Potret Diri” dibacakan oleh Titik Rengganis, dilanjutkan oleh Eko Winardi dengan puisi ”Berita Keluarga,” dan Halim HD membacakan ”Inilah Kota! Dan Orang-orang Berebut di dalamnya”. Dramatic Reading dibacakan oleh Eko Winardi, Joko Kamto dan Novi Budianto, dan acara ditutup dengan pembacaan puisi pendek oleh Naomi Srikandi, putri dari sang Penyair yang dikenal dengan julukan ”Burung Merak”, WS Rendra.

”Karena belakangan Simon kondisinya kurang baik, saya yakin banyak hal yang menjadi gagasan-gagasannya yang belum diwujudkan dalam perjalanannya. Ketika 35 tahun yang lalu saya mengenal Simon, saya tertarik dengan keragu-raguannya, suka dengan kehidupan malam, yang akhirnya kami sering bertemu di Malioboro, di Pasar Kranggan dan jalanan-jalanan lain. Ketika Simon pertama kali menulis puisi, Saya sangat tertarik dengan puisi-puisinya yang selalu pendek dan padat. Tahun 1977-1978 dan awal 80-an, puisi-puisinya sangat dikenal di Media Yogyakarta. Tapi  malam ini saya membacakan puisinya yang   sangat panjang yang ditulis oleh Simon, yang saya kira ada sesuatu yang ingin dia sampaikan,” Halim HD memberikan pengantarnya sebelum membacakan puisi panjang Simon.

Ya, memang patut disayangkan bahwa lantaran kesehatannya, Simon Hate  yang sempat terlihat sebentar, di Pendopo, tiba-tiba menghilang. Penyerahan secara simbolis buku antologi puisinya diterimakan kepada anak lelakinya: Debritto.

Ketidakhadiran Simon Hate dalam acara (walaupun sebagain mengetahui bahwa Simon beristirahat di ruang dalam Karta Pustaka dan sempat dijenguk beberapa sahabatnya) menjadi pertanyaan dari banyak penonton. Mereka menanti-nanti kehadiran Simon, dan ada pula yang berharap kejutan Simon membacakan puisinya sendiri. Tapi hal itu memang tidak terjadi.

“Sayang, Simonnya sendiri nggak muncul di panggung, meski sekedar menyapa tamu yang datang secara “resmi”. apalagi, puncak acara justru pementasan karya indro yang tidak ada hubungannya dengan soal Simon kecuali bahwa penulisnya teman atau bekas anak buah (?) Simon. Kalau dilihat penayangan foto-foto simon melalui LCD, Simon jadi tampak seperti sekedar latar belakang,” Faruk HT memberikan pernyataan yang menyayangkan ketidakhadiran Simon dalam sebuah komentar atas postingan tulisan ini sebelumnya.

“Enggak munculnya Bang Simon di panggung itu memang karena keinginannya sendiri atau bagaimana ya? Cak Nun yang kabarnya akan datang, ternyata juga tak muncul; yang datang justeru rekaman videonya …” pertanyaan dan pernyataan dari Nirwan Arsuka.

Komentar ini terus bersambut dengan dugaan-dugaan yang pada akhirnya mendapatkan penjelasan dari salah satu panitia, Eko Winardi:

Eko Winardi

“‎@ all: Benar bahwa tidak tampilnya Simon di panggung pada acara Pertunjukan dan Baca Puisi Simon Hate, 2 Desember 2011 di Karta Pustaka, Yogyakarta, karena faktor kesehatan Simon. Kondisi kesehatan Simon akhir-akhir ini jika psikologisnya terlalu senang (jawa: mongkok atine), terlalu sedih, di keramaian, maka simon akan merasakan perutnya mual-mual, kemudian dada sesak, tubuh terasa lemas dan napas sesak. Biasanya Simon rebahan sambil mengatur napas dalam tempo lama akan pulih.

Jauh jauh hari sebelum acara ini Simon sudah menyampaikan kondisi tersebut dan meminta untuk tidak hadir dalam perhelatan tersebut. Tetapi kami panitia memohon dengan sangat untuk Simon hadir dengan beberapa option. 1. Simon hadir, memberi sambutan dan membacakan sebuah puisinya.; 2. Simon hadir menerima buku dari Dapoer Seini Djogja dan memberi sambutan. 3. Simon hadir dan duduk saja. Dari kesemuanya itu jika kondisi psikologis dan datang gangguan atas kesehatannya maka Simon bisa rebahan di belakang atau mbolos pulang. Dan yang terjadi malam itu, Simon merasa sesak dan rebahan di belakang.

Tentang kondisi Simon malam itu sudah saya sampaikan kepada Angger Jati Wijaya, selaku pemimpin acara. Dan saya minta penerima buku dari Dapoer Seni Djogdja digantikan oleh Bito (putra Simon), tentu saja tidak ada sambutan dari Simon. Tentang mengapa tidak disampaikan kondisi Simon malam itu oleh Angger Jati, saya kira ada pertimbangan tersendiri bagi Jati di dalam mengelola acara.”

“Kalau yang ini, sudah disampaikan pada tamu. Tapi, tamu datang bukan untuk Cak Nun. Mereka datang untuk Simon. Mereka menunggu-nunggu, kok Simon rametu-metu (keluar). Mungkin hal ini juga sudah disampaikan. secara tesirat dalam pentas dramanya Indro. Tamunya nggak datang-datang. Sekali datang, punya ide, tenyata nggak punya power. apakah itu maksudnya, punya puisi, tapi nggak bisa membacanya, ataukah, punya hajat, tapi nggak bisa ngancani? Saya bertanya-tanya waktu itu: kenapa panitia begitu menyempatkan waktu untuk minta maaf atas ketidakhadiran Emha, tapi tidak untuk kemunculan Simon di panggung. Seolah-olah, panitia mengasumsikan, Emha-lah yang ditunggu-tunggu tamu, bukan Simon. Aneh” Faruk HT memberikan tanggapan dari penjelasan yang disampaikan oleh Eko Winardi.

Ririe Rengganis

Diskusi dalam komentar masih terus berlanjut dan melibatkan semakin banyak kawan, tentang perhelatan pembacaan puisi Simon Hate yang tidak dihadiri oleh penulisnya sendiri. Berbagai masukan yang ada dalam diskusi tersebut, sekiranya bisa menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua.

Kembali tentang Simon, sebagai penyair, ia bisa dikatakan tidak produktif dibandingkan para penyair-penyair lainnya. Bahkan kata yang lebih tepat bisa disebut ”malas menulis” walau banyak gagasan-gagasan yang sering dikemukakannya dalam berbagai perbincangan dengan para sahabat-sahabatnya yang mampu memberikan inspirasi segar dan genuine.

Hal tersebut, sebagaimana diceritakan oleh Angger Jati Wijaya, pernah mengundang komentar dari Cak Nun, ”Mon andaikata kamu mau menulis, maka akan ada karya-karya hebat dari pemikiran dangagasan-gagasan kamu,”. Tapi dengan nada berseloroh Simon hanya menanggapi ”Kan yang biasa menulis adalah para sahabat nabi,”

Naomi Srikandi

Walaupun sejak tahun 1990-an ia tidak pernah mempublikasikan karya-karyanya ke media lain, Simon diketahui masih sering menulis puisi di sela-sela kesibukannya. Pada awal Kompas menyediakan ruang untuk puisi, beberapa puisinya sempat menghiasi rubrik tersebut. ”Ya, diminta mengirim, saya kirim,: katanya enteng ketika ditanya oleh seorang kawannya.

Ketika di Teater Dinasti, ia pernah menggarap lakon Patung Kekasih bersama Fajar Suharno dan Emha Ainun Nadjib. Selanjutnya bersama Agus Istianto ia menulis lakon ”Sepatu Nomor Satu”. Dua lakon yang pernah dilarang pementasannya pada masa Orde Baru. Kendati pada akhirnya beberapa tahun kemudian, ”Patung Kekasih” sempat dipentaskan di beberapa kota.

Simon Hate  pernah mengikuti pelatihan teater yang diselenggarakan oleh Philiphine Educational Theatre Association (PETA) pada tahun 1984 (Dari Indonesia yang pertama kali mengikuti pelatihan ini adalah Emha Ainun Nadjib dan Fred Wibowo. Pada fase selanjutnya, Wiji Thukul juga pernah mengikuti pelatihan serupa). Pengalaman mendapatkan pelatihan ini telah mendorongnya untuk menerafkan dan mengembangkan teater sebagai media pembebasan.

Simon Hate bersama beberapa kawannya kemudian mendirikan Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI) dan bekerja bersama kaum marginal seperti kalangan buruh di Tangerang, kelompok-kelompok tani di berbagai wilayah di Jawa Tengah, dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia. Ia merupakan salah satu sosok penting bila membicarakan perjalanan teater pembebasan di Indonesia.

Hasta Indriyana,alumni UNY yang pernah aktif di Akademi Kesenian Yogyakarta (AKY), dalam salah satu artikelnya di Suara Karya (klik di SINI) menyatakan bahwa munculnya faham teater sebagai media pembebasan merupakan salah satu upaya menciptakan demokrasi kebudayaan dan demokrasi politik yang selama ini dibeukan demi kepentingan pihak penguasa. Kemunculannya karena kondisi yang melahirkan iklim demokrasi kebudayaan untuk berekspresi dan berkreasi kepada para pekerja kesenian. Hal tersebut dapat mengancam status quo pihak penguasa karena dengan kebebasan yang ada itu, para pekerja teater dapat menciptakan bentuk-bentuk karya seni yang tidak selaras dengan apa yang diinginkan pihak penguasa, yaitu karya seni yang mempertanyakan kekuasaannya.

Hingga saat ini, Simon masih aktif dalam gerakan bersama petani, di sela waktunya sesekali masih menulis puisi. Kesehatan di akhir-akhir ini tampaknya menggelayut perjalanan dirinya. Sehari setelah pembacaan puisi, untuk beberapa waktu ia terpaksa harus opname di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Kita berharap ia bisa segera sehat, kembali berkarya di sela kerja-kerjanya, dan memberikan arti bagi perjalanan kesenian di Yogya. Semoga.

Catatan penulis:
Tulisan ini pernah diposting di Kompasiana (klik di SINI) dan menjadi headline, lalu dikembangkan lagi berdasarkan proses dialog yang berlangsung dalam ruang komentar di jejaring Facebook.

HL_111203_Pembacaan Puisi-puisi Simon Hate_crop

Tinggalkan komentar